2003@staima-alhikam.ac.id +6281259438226

Budaya Organisasi di Perguruan Tinggi

  • Admin
  • Disukai 0
  • Dibaca 13275 Kali
artikel

Mutamakin- TALIMUNA, Vol. 8, No. 1, Maret 2015-ISSN 2085-2975

 

Abstract:

Organizational culture is a shared meaning of values, beliefs, traditions, and organizational philosophy which members of the organization own, so, the organization is different from the other organizations.  Organizational culture that members feel is a quality, its supported by the shared meaning based on the value of helping each other. The quality of culture is supported by all tangible and intangible organization elements. They are statements of vision and mission, organization value, artifacts, teaching-learning process, technology, the practice of management and accounting and training skill.

Key   words:   Organizational   culture,   values,   organizational philosophy, Higher Education

Kata   kunci:   budaya   organisasi,   nilai,   filosofi   organisasi, perguruan tinggi.

Pendahuluan

Setiap organisasi memiliki karakteristik budaya yang berbeda antara satu dengan lainnya. Karakteristik budaya dalam suatu organisasi dapat mengantarkan   suatu   organisasi   berkembang   melebihi   organisasi

lainnya, meskipun organisasi tersebut bergerak dalam bidang dan lokasi yang   sama.   Harvard   University   dan   Massachusetts   Institute   of Technology (MIT) misalnya, berada di lokasi yang berdekatan, namun masing-masing   mempunyai   keunggulan   yang   unik.   Hal   itu dilatarbelakangi  karakteristik  dan  struktur  organisasinya (Robbins,

2001; MIT, 2002). Keunikan suatu organisasi tersebut dipengaruhi oleh berbagai hal, antara lain nilai dan norma yang dianut anggotanya, kepercayaan dan kebiasaan yang berlaku di dalam organisasi, dan filosofi organisasi. Berbagai faktor ini lah yang dsebut oleh para ahli organisasi sebagai budaya organisasi (Ouchi, 1981).

Budaya organisasi ada dan melekat di semua organisasi besar atau kecil, di manapun atau kapanpun, termasuk organisasi perguruan tinggi STAIMA Al-Hikam Malang. Konsistensi budaya organisasi STAIMA Al-Hikam Malang cenderung stabil. Hal itu dapat diamati dari perilaku dan  kondisi  sehari-hari  ketika  mereka  berinteraksi.  Misalnya,  tata lingkungan   kampus,   pertamanan.   Manajemennya   didukung   oleh teknologi informasi, layanan unggul, dan sikap karyawan organisasi yang baik dan unik. Dikatakan unik karena ada kandungan nilai, norma, kebiasaan, dan filosofi yang berbeda dengan organisasi kependidikan lainnya yang dapat diamati (tangible) dalam perilaku serta interaksi

mereka sehari-hari.

Bedasarkan hal itu, penelitian ini akan mengungkapkan mengapa dan bagaimana (1)  terbentuknya  budaya  organisasi, (2)  wujud  budaya organisasi yang dimaknai oleh anggota organisasi, (3) perekat budaya organisasi, (4) budaya organisasi, iklim dan efektivitas organisasi, dan(5) kendala budaya organisasi di STAIMA  Al-Hikam Malang.

Metode

Penelitian dilakukan di STAIMA Al-Hikam Malang menggunakan rancangan kualitatatif yang ditopang oleh pendekatan etnografi dan fenomenologi. Pendekatan etnografi dalam penelitian ini digunakan untuk mempelajari, mengungkapkan, dan menggambarkan makna dari suatu peristiwa yag dikaji dalam konteks budaya berdasarkan kepada aspek  atau  dimensi  keyakinan  etnis  yang  menjadi  latar  peristiwa tersebut.

Pendekatan fenomenologi digunakan untuk mempelajari, mengungkap, dan memerikan, serta menganalisis secara kritis fenomena yang ada dalam konteks komunitas  perguruan tinggi.  Objek fenomena  yang dikaji  dalam  hal  ini  meliputi  nilai  yang  dominan,  keyakinan , kepercayaan, kebiasaan, dan filosofi organisasi yang berkembang dan diyakini serta bermakna dalam berinteraksi bagi komunitas STAIMA Al-Hikam Malang. Perilaku sebagai bagian dari budaya organisasi

hanya dapat dimengerti apabila hal yang ada dibalik pemikiran subjek yang  diteliti  dapat  dipahami.  Menurut  Brannen (1992);  Moleong (2000); dan Dimyati (2000) pendekatan fenomenologis lebih tepat digunakan dalam suatu penelitian apabila (1) peneliti ingin memahami makna peristiwa dan interaksi dalam situasi tertentu, (2) memahami subjek penelitian dari subjek dan aspek subjektif dari subjek, (3) data penelitian   yang   dibutuhkan   bersifat   laten, (4)   tujuan   penelitian mengungkap kedalaman pemaknaan perilaku kolektif bagi anggota organisasi, dan (5) fokus penelitian terkait dengan hubungan fungsional antara anggota organisasi.

Fokus penelitian terdiri dari  (1) terbentuknya nilai, keyakinan dan kebiasaan di  dalam organisasi; (2) wujud budaya organisasi  yang dimaknai oleh anggota organisasi; (3) perekat budaya organisasi, (4) budaya organisasi, iklim dan efektivitas organisasi; dan (5) kendala budaya.

Pendekatan fenomenologi dalam penelitian ini menggunakan tiga tahap reduksi, yaitu reduksi fenomenologis,  eidetis,  dan  transendental. Reduksi fenomenologi dilakukan sejak peneliti masuk ke dalam situs penelitian. Caranya adalah melepaskan semua atribut yang ada pada peneliti agar data yang diperoleh adalah data murni, alami, sesuai dengan  konteks  budaya  organisasi  lembaga  yang  diteliti.  Reduksi eidetis   merupakan   usaha   peneliti   untuk   mencocokkan   hakikat pemaknaan yang dibuat peneliti dengan hakikat pemaknaan menurut subjek yang diteliti.  Sementara  itu,  reduksi  transendental  dalam penelitian ini merupakan usaha mengaitkan hakikat pemaknaan pola perilaku anggota organisasi dengan hakikat yang lebih dalam, yakni makna dalam kaitannya Tuhan pencipta manusia dan alam sekitarnya.

Subjek   penelitian   terdiri   dari   pimpinan,   karyawan,   dosen,   dan mahasiswa. Penentuan subjek menggunakan teknik snowball sampling (Bogdan & Biklen, 1998). Artinya, siapa saja yang dijadikan sampel ditentukan berdasarkan kebutuhan peneliti dan penjelasan dari subjek

penelitian sebelumnya yang dilakukan secara terus-menerus sampai secara metodologis dipandang mencukupi.Data   dikumpulkan   menggunakan   teknik   observasi,   wawancara mendalam,  dan  dokumentasi.  Teknik  observasi  digunakan  untuk memperoleh   gambaran   sesungguhnya   tentang   perilaku   anggota organisasi.   Wawancara   mendalam   digunakan   untuk   memperoleh pemahaman   dan   pemaknaan   anggota   organisasi   tentang   nilai,

keyakinan, dan kebiasaan yang berlaku dalam organisasi. Dokumentasi digunakan untuk mendukung data yang diperoleh dari observasi dan wawancara mendalam.

 

Analisis data dilakukan dengan menggunakan model analisis interaktif yang di dalamnya melibatkan kegiatan pengumpulan data, sajian data, reduksi data dan penarikan simpulan (Miles & Huberman, 1984). Untuk menguji keabsahan data dilakukan triangulasi metode dan triagulasi subjek   penelitian.   Triangulasi   metode   dilakukan   dengan   cara membandingkan  data  yang  diperoleh  dengan  wawancara  dan  data observasi   atau   dokumen.   Triangulasi   subjek   dilakukan   dengan mencocokkan data yang diperoleh dari kepala sekolah dengan data yang diperoleh dari guru atau siswa. Di samping itu, dalam triangulasi ini digunakan juga pendapat dari para ahli tentang persoalan-persoalan yang mengemuka dari temuan penelitian.

Temuan penelitian menunjukkan bahwa: pertama, terbentuknya budaya organisasi tidak terlepas dari peran pimpinan organisasi. Pimpinan adalah model nilai  berjalan  yang  dipatuhi,  dan  diteladani  oleh anggota  organisasi.  Sementara  itu,  nilai  yang  dikembangkan  dan diterapkan sejak dini adalah kejujuran, keadilan dan tanggung jawab.

Nilai tersebut mengukuhkan hubungan internal anggota organisasi dan mendorong   mereka   bekerja   efektif.   Hal   ini   dimaknai   sebagai keunggulan dan strategi organisasi.

Ada dua  filosofi  organisasi  yang  dipegang  teguh  oleh  pimpinan organisasi yaitu filosofi air dan filosofi harmoni. Filososfi air diambil dari  pemaknaan  sifat-sifat  air.  Sifat-sifat  air  tersebut  adalah (1) permukaannya   selalu   datar, (2)   air   mempunyai   kedalaman   dan kedangkalan, (3) air bersifat menyejukkan, (4) air itu indah. Makna

filosofis dari sifat air itu adalah semua anggota organisasi mempunyai kedudukan yang sama, tidak dibedakan antara bagian parkir, pengajaran dan bangunan; tanggung jawab berdasarkan beban kerja, kedudukan,

dan jenis pekerjaan yang dilakukan; harus ada keseimbangan aktivitas anggota organisasi dengan lingkungannya; perhatian lembaga terhadap dunia  pendidikan  tidak  hanya  pada  bidang  kognitif,  tetapi  juga memperhatikan aspek afektif (rational mind dan emotional mind). Sifat air mengalir ke tempat yang lebih rendah, artinya bahwa air membawa kotoran, sekaligus melakukan proses penyaringan. Sesuatu yang tidak baik   ditinggalkan   dan   hal-hal   yang   dinilai   baik   diambil   dan dipertahankan.

Sementara  itu,  filosofi  harmoni  disimbolkan  dari  sekuntum  bunga anggrek.   Bunga   anggrek   terdiri   dari   tiga   kelopak   bunga   yang membentang ke kiri, ke kanan dan ke atas. Kelopak bunga anggrek

sebelah kiri bermakna keharmonisan, keseimbangan hubungan antara manusia  dengan  manusia.  Kelopak  bunga  anggrek  sebelah  kanan mempunyai makna hubungan harmonis antara manusia dengan alam sekitarnya. Sedangkan kelopak bunga anggrek yang membentang ke atas melambangkan keharmonisan, keseimbangan hubungan manusia

dengan Tuhan yang maha kuasa.

Kedua, wujud budaya yang dirasakan oleh seluruh anggota organisasi adalah budaya kualitas, kekeluargaan, kebersamaan, manusiawi, dan suka menolong yang didukung oleh elemen organisasi yang tampak(tangible)   dan   elemen   yang   tidak   tampak (intangibel).   Elemen organisasi yang tampak adalah artifak, mebeler, lingkungan dan lain-lainnya.  Sedangkan  elemen  organisasi  yang  tidak  kelihatan  tetapi berpengaruh  terhadap  organisasi  antara  lain  adalah  nilai,  filosofi organisasi, visi dan misi organisasi. Ketiga, Seluruh elemen tersebutdibungkus oleh adanya rasa kekeluargaan, kebersamaan, dan saling percaya, jujur serta tanggung jawab sebagai perekat budaya organisasiKeempat, nilai yang terinternalisasi dalam diri karyawan mempengaruhi sikap dan perilaku mereka. Salah satu di antaranya adalah karyawan tidak mem-punyai keberanian membicarakan hak mereka terutama yang terkait dengan uang, seperti gaji lembur, reward atas dasar prestasi dan kesuksesan mereka mengerjakan suatu kegiatan. Namun demikian, saat ini, hal itu belum mengurangi kinerja mereka, karena nilai budaya organisasi dan pemahaman mereka bahwa bekerja itu adalah ibadah dan pengabdian dominan dalam kehidupan mereka. Kinerja karyawan yang baik  dan  kedekatan  dengan  pimpinan  membuka  peluang  untuk mengembangkan karier bagi diri dan keluarganya. Sedangkan bagi karyawan   yang   mengingkari   kesetiaan   dan   kepatuhan   dijatuhi punishment berupa  iklim  kerja  yang  tidak  menyenangkan.  Norma punishment muncul karena ingkar terhadap kepatuhan. Formula yang berlaku adalah reward sebagai reinforcement, loyalitas, dan kepatuhan. Kelima, pandangan  anggota  organisasi  terhadap  pimpinan  sebagai model nilai berjalan berimplikasi terhadap perilaku seluruh anggota organisasi. Hal itu menimbulkan loyalitas yang mengacu kepada pribadi pemimpin,  bukan  dedikasi  pada  institusi,  sehingga  ada  sebagian karyawan yang bersusaha dekat dengan pimpinan agar dianggap loyal dan berdedikasi serta memperoleh restu.

Tidak semua aktivitas organisasi berpedoman pada struktur organisasi, lebih cenderung pada kebiasaan. Karyawan merasa ada ketidakadilan dalam organisasi, karena loyalitas kepada pimpinan dijadikan dasar untuk mendapat promosi jabatan, bukan berdasarkan kepada prestasi dan keefektifan kerja karyawan.

Diagram konteks temuan penelitian disajikan pada Gambar 1.

 

PEMBAHASAN

Temuan   penelitian   mengungkapkan   bahwa   terbentuknya   budaya organisasi di STAIMA Al-Hikam Malang karena peran pimpinan sebagai model nilai berjalan yang menekankan pada tiga nilai utama sebagai  pegangan,  yaitu  kejujuran,  keadilan  dan  tanggung  jawab. Ketiga nilai tersebut sejalan dengan filosofi air dan filosofi harmoni. Implikasi dari temuan tersebut bagi organisasi adalah bahwa setiap kegiatan yang dilakukan dalam organisasi mengacu kepada nilai-nilai tersebut.   Misalnya   dalam   menentukan   keberhasilan   mahasiswa mengikuti kuliah, seorang dosen harus berpijak pada nilai tersebut, di samping   peraturan   tertulis,   sehingga   secara   administratif   proses

perkuliahan dapat ditelusuri dalam bentuk dokumen kehadiran, nilai ujian tengah semester, akhir semester, dan berita acara ujian. Demikian juga halnya dalam pemberian kesempatan melaksanakan ibadah haji, semua  unit  yang  ada  mempunyai  kesempatan  yang  sama  untuk berangkat haji (keadilan), biasanya dua orang dari unsur pimpinan, dua dari unsur dosen, dan dua dari unsur karyawan administrasi, serta dua orang lagi dari unsur tenaga kebersihan.

Model demikian itu berfungsi sebagai nilai penggerak bagi organisasi, karena masing-masing anggota organisasi berusaha maksimal untuk mencapai keberhasilan organisasi. Dari sisi manajemen, nilai tersebut sudah   dijadikan   sebagai   alat   manajemen   strategik (strategic management) organisasi. Oleh sebab itu nilai, disosialisasikan kepada

seluruh anggota organisasi. Kesimpulan itu didukung oleh proposisi nilai atau norma disosialisasikan sejak awal keterlibatan karyawan atau mahasiswa    dalam    organisasi.    Maknanya    adalah    STAIMA menanamkan nilai kepada seluruh komunitas organisasi sejak rekrumen karyawan. Untuk mendukung hal itu diciptakan suatu pemahaman

bahwa semua bagian organisasi adalah sama.

Berdasarkan pernyataan temuan tersebut, dapat dimaknai bahwa nilai me-rupakan  suatu  strategi  organisasi  agar  organisasi  mempunyai kekuatan dan keung-gulan dalam mencapai misinya. Makna tersebut didukung oleh fakta bahwa terben-tuknya budaya organisasi STAIMA diawali sejak penerimaan karyawan, diciptakannya lingkungan yang asri, dan dirumuskannya filosofi organisasi sebagai pedoman anggota organisasi   berperilaku.   Strategi   demikian   dikenal   dengan   model manajemen strategik berdasarkan nilai (value based model of strategic management) dalam rangka mencapai kualitas organisasi (Mulyadi & Setyawan, 2000).

Wujud   budaya   yang   dimaknai   oleh   anggota   organisasi   adalah kekeluargaan, kebersamaan, dan kualitas. Kekeluargaan diterjemahkan oleh komunitas organisasi sebagai usaha untuk mewujudkan tujuan sebagaimana layaknya hubungan antara anak dan orang tua dalam suatu keluarga, dalam bentuk mengurangi aturan birokratik yang membatasi hubungan pimpinan dan bawahan. Oleh sebab itu, pimpinan selalu berkenan ditemui di mana pun, baik untuk kepentingan anggota maupun kebutuhan organisasi. Sementara itu, kebersamaan dikaitkan dengan pemenuhan hak dan kewajiban anggota organisasi sebagaimana yang diterjemahkan  dalam  filosofi  air  khususnya  pemaknaan  air  yang mempunyai kedalaman dan kedangkalan.

Dimensi kualitas organisasi terbentuk karena adanya dukungan nilai dan  filosofi  organisasi,  rumusan  visi  misi  organisasi  yang  jelas, komitmen karyawan, dan kepemimpinan ketua STAIMA  yang kreatif dan   transformatif,   serta   dukungan   teknologi   untuk   pelaksanaan administratif dan proses belajar-mengajar. Nilai seperti yang dijelaskan

sebelumnya di samping berfungsi sebagai nilai penggerak organisasi, juga berfungsi sebagai instrument dan terminal (Jones, 1995). Nilai instrumental merupakan nilai yang dianutkan oleh organisasi, seperti kejujuran, keadilan, dan tanggung jawab. Sedangkan nilai terminal merupakan   tujuan   organisasi,   yakni   outcomes   yang   berkualitas,

sebagaimana dirumuskan dalam visi STAIMA .

Visi STAIMA Al-Hikam Malang sampai tahun 2010 mendatang adalah Menjadi lembaga pendidikan rujukan dalam pengembangan keilmuan keislaman,  pengembangan  lembaga (pesantren)  dan  dakwah  multi

kultural. Oleh karena itu, dalam setiap gerak dan kegiatannya, Mahad Aly   Al-Hikam   senantiasa   melakukan   inovasi,   interpretasi,   dan reinterpretasi,   serta   mengambil   inisiatif   terhadap   pengelolaan

perubahan. Sedangkan misi STAIMA  adalah 1.) Mengembangkan pesantren secara keilmuan maupun secara kelembagaan dan melakukan pencerahan kepada masyarakat melalui kegiatan talim, tarbiyah, tadib, dan irsyad dengan menumbuhkembangkan sikap dan perilaku inovatif, kreatif, dan reinterpretatif, serta kecakapan untuk mengelola perubahan.2).     Meningkatkan kompetensi lulusan pesantren melalui pembekalan dan  penguatan  di  bidang  ilmu  alat,  yakni  bahasa  dan  perangkat metodologi berpikir ilmiah, serta pengembangan wawasan.

 

Misi yang demikian itu berfungsi sebagai kompas dalam pengelolaan lembaga pendidikan, dalam kaitan ini Mission of the school is its purpose for existence in a particular community (Caldwell & Spinks, 1992:37). Dengan demikian perumusan misi yang sudah dilakukan STAIMA      merupakan   usaha   untuk   menyusun   peta   perjalanan organisasinya,  untuk  menjadi  apa  organisasi  yang  diinginkan  itu. Kemampuan  STAIMA    merumuskan  misi  berarti  organisasi  telah memahami  peta  perjalanan  yang  akan  ditempuhnya  dalam  usahamenyediakan    jasa/layanan          kepada    pelanggannya,         sehinggakelangsungan hidup dan perkembangan organisasi terjamin.Komitmen dapat diartikan seberapa jauh individu mengenal dan terlibat atau tidak berkeinginan keluar dari organisasinya (Greenberg & Baron, 1997). Secara teoritis menurut Greenberg dan Baron ada tiga hal yang menjadi  dasar  komitmen  karyawan  terhadap  organisasi  yakni (1) berdasarkan taruhan modal yang diberikan (side-bets orientation), (2) tujuan pribadi (goal-congruence orientations) dan (3) berdasarkan usaha mempertahankan kebutuhannya karena tidak ingin mencari organisasi lainnya (continuous commitment). Dalam konteks STAIMA Al-Hikam

Malang, komitmen karyawan dipengaruhi oleh nilai dan pemenuhan kebutuhan oleh lembaga, sehingga karyawan menjadi senang bekerja dan   memberi   pelayanan   dan   jasa   kepada   pelanggannya   yaitu mahasiswa.

Tidak kalah pentingnya dari semua yang djelaskan di atas adalah kepemimpinan STAIMA yang mengacu kepada pola kepemimpinan transformatif.  Artinya  pimpinan  mengambil  bentuk  leadership  by building  dan leadership as  bonding. Caranya, pimpinan STAIMA berusaha  memunculkan  potensi  manusiawi  pengikut,  memuaskan

kebutuhan yang lebih tinggi, menumbuhkan harapan pimpinan dan pengikut supaya termotivasi pada kinerja dan komitmen yang lebihtinggi   (Sergiovanni,   1991).  Secara  teoritis  hal  itu  menurut  Klein,Bigley, dan Roberts,    (1995) disebut    a humanistic-helpful culture.

Sementara itu, leadership as bonding ditunjukkan pimpinan dalambentuk  usaha  memunculkan  kesadaran  mencapai  tujuan  organisasi dengan cara mengikat pimpinan dan pengikut dalam ikatan komitmen moral atau nilai. Secara konsep disebut juga kepemimpinan budaya (Sergiovanni, 1991; Caldwell & Spink, 1992).

Kepemimpinan  budaya  mempunyai  keterkaitan  dengan  nilai.  Pada bagian temuan penelitian telah dikemukakan bahwa pimpinan STAIMA adalah model nilai berjalan yang dapat dimaknai bahwa pimpinan tersebut panutan, contoh dan teladan dalam arti pimpinan memberi perhatian   pada   moral.   Menurut   Greenberg   dan   Baron (1997) kepemimpinan transformatif itu mempunyai karakteristik antara lain,(1) mempunyai karisma, (2) mempunyai kemampuan untuk melakukan intellectual stimulation, dan (3) berkemampuan melakukan inspirational motivations. Karakteritik itu ada pada kepemimpinan ketua STAIMA Al-Hikam Malang.

Faktor lain yang menunjang dimensi budaya kualitas STAIMA  adalah digunakannya   teknologi   informasi   untuk   mendukung   proses administrasi dan kegiatan belajar-mengajar di kampus. Sampai saat ini telah disediakan fasilitas komputer memakai sistem LAN (local area network)  di  beberapa  unit  organisasi  dan  internet (international

network), fasilitas CD-ROM yang memuat lebih dari 250.000 artikel jurnal ilmiah, fasilitas teleconference, pelajaran bahasa Inggris, Jepang dan Mandarin, praktik manajemen dan akuntansi, serta pojok Bursa Efek Jakarta untuk praktik lapangan bagi para mahasiswa. Belum semua fasilitas tersebut dapat digunakan secara maksimal. Hal itu disebabkan oleh sumber daya manusia yang menguasai teknologi masih terbatas.  Seperti  halnya  penggunaan  fasilitas  teleconference  untuk melakukan  konferensi  jarak  jauh  dalam  rangka  menunjang  proses belajar-mengajar masih belum dapat dilaksanakan secara efektif, dan sebagian dari teknologi tersebut masih berfungsi sebagai pajangan

belaka. Hal itu bermakna bahwa belum semua visi organisasi dapat direalisasikan dengan efektif walaupun telah didukung oleh fasilitas penunjang   pendidikan   yang   telah   disediakan.   Namun   demikian pimpinan dan karyawan organisasi tetap berusaha melaksanakan proses belajar-mengajar secara efektif dan berkualitas. Kualitas dapat dicapai salah satunya dengan cara melaksanakan proses belajar-mengajar yang tertib dan berdisiplin.

Lembaga   pendidikan   STAIMA         menekankan   kepada   perlunya kedisiplinan  semua  anggota  organisasi  dalam  melakukan  aktivitas termasuk kegiatan proses belajar-mengajar (PBM). Dalam kegiatan PBM semua aktivitas didokumentasikan ke dalam beberapa format dan berita acara, seperti jumlah mahasiswa perkelas, nama mahasiswa,

dosen yang mengajar, kehadiran mahasiswa dan dosen, jam masuk, kartu rencana studi, kartu hasil studi, kartu ujian, kartu mahasiswa, kartu perpustakaan, dan kartu nilai yudisium. Sedangkan berita acara terkait dengan kegiatan ujian, di dalamnya berisi informasi antara lain tentang waktu penyelenggaraan ujian, nama pengawas, lokal dan ruang ujian, perilaku mahasiswa seperti berambut panjang, tidak memakai sepatu,  memakai  subang  bagi  yang  laki-laki,  alasan  mahasiswa melanggar tata tertib, dan sanksi kepada mahasiswa yang melanggar. Semua itu terselenggara karena adanya koordinasi, rasa kekeluargaan, kebersamaan  serta  saling  percaya  antarunit  dan  antarinvidu  dalam

organisasi.  Rasa  kekeluargaan,  kebersamaan,  dan  saling  percaya tersebut sekaligus berfungsi sebagai perekat budaya organisasi.

Perekat  budaya  berguna  sebagai  peredam  konflik.  Apabila  terjadi konflik dalam organisasi, perekat budaya yang merekat kembali agar jangan sampai terjadi perpecahan. Perbedaan pendapat antarunit atau antarindividu menjadi sesuatu yang wajar dalam organisasi STAIMA. Konflik organisasi  menjadikan organisasi  lebih dinamis, tidak ada organisasi   tanpa   konflik.   Di   sinilah   peran   rasa   kekeluargaan, kebersamaan, saling percaya sebagai perekat itu berfungsi, sehingga melanggengkan kedinamisan organsiasi. Kedinamisan yang demikian itu menciptakan iklim organisasi yang kondusif bagi semua komunitas organsasi.

Iklim  organisasi  yang  kondusif  menurut  Owens       (1995)  berkaitan dengan   faktor   fisik,   lingkungan,   serta   sistem   sosial   organisasi. Sedangkan sistem sosial terkait dengan nilai, norma, kepercayaan, dan kebiasaan organisasi. Oleh karena nilai organisasi yang utama adalah kejujuran, keadilan, dan tanggung jawab direkat oleh kekeluargaan dan kebersamaan, ditopang pula oleh penataan artifak yang indah bagus, maka iklim organisasi menjadi nyaman dan kondusif. Muaranya adalah hubungan internal antaranggota organisasi menjadi padu, suasana kerja organisasi  menjadi  nyaman,  aman,  dan  jauh  dari  stres.  Dengan demikian dapat dikatakan pencapaian tujuan organisasi sebagaimana diamanatkan dalam visi, misi organisasi menjadi efektif.

 

Namun demikian tidak dapat diingkari bahwa tidak semua indivu dalam organisasi  berlaku  jujur,  adil,  dan  bertanggung  jawab.  Masih  ada beberapa  karyawan  berusaha  untuk  loyal  kepada  pimpinan  dalam usahanya  untuk  mendapat  suatu  jabatan  atau  kedudukan  tertentu. Loyalitas demikian lebih mengacu kepada pribadi pimpinan, bukan dedikasi kepada organisasi. Di samping itu, ada juga kebiasaan yang

memberatkan karyawan yang jujur dan bertanggung jawab, walaupun sesungguhnya karyawan tersebut sudah dirotasi ke bagian lain dalam organisasi. Hal ini termasuk dalam kendala budaya organisasi. Artinya kebiasaan  sebagai  bagian  budaya  adakalanya  memperpendek  jalur birokrasi, pada saat yang lain dapat menjadi kendala organisasi. Oleh sebab itu, perlu kehati-hatian dalam mengelola budaya organisasi.

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

Terbentuknya budaya organisasi terkait dengan peran pimpinan sebagai model nilai berjalan. Artinya pimpinan adalah contoh dari nilai organisasi; kejujuran, keadilan, dan tanggung jawab. Nilai organisasi sejalan dengan filosofi organisasi, agar dapat dijadikan penggerak dan strategi keunggulan organisasi yang dikenal dengan nama value based model of strategic management.

Ada tiga wujud budaya organisasi STAIMA Al-Hikam Malang  antara lain adalah budaya kekeluargaan, kebersamaan, dan kualitas. Dimensi kualitas didukung oleh nilai filosofi organisasi, rumusan visi misi, komitmen karyawan, kepemimpinan ketua, dan dukungan teknologi untuk kegiatan administratif maupun untuk kegiatan proses belajar-mengajar. Untuk mewujudkan kualitas diperlukan perekat budaya yang berguna  sebagai  lem  ketika  terjadi  konflik  antaranggota  dan/atau individu dalam organisasi sebagai bagian dari dinamika organisasi. Perekat budaya dalam hal ini adalah kekeluargaan, kebersamaan, dan rasa   saling   percaya   antarsesama.   Kedinamisan   organisasi   yang demikian menciptakan iklim organisasi yang kondusif yang mengarah kepada keefektivan pencapaian tujuan organisasi.

Budaya organisasi dapat berfungsi sebagai pendorong dan dapat pula menjadi kendala organisasi. Kebiasaan memberatkan karyawan yang jujur, bertanggung ja