MADRASAH: Antara Tradisi Dan Tuntutan Perubahan



artikel

Zaedun Naim- TALIMUNA, Vol. 8, No. 1, Maret 2015-ISSN 2085-2975

Abstrac

The situation of progress of development in various sectors of life, urged the madrasa to improve the quality of education are developed. The programs intelligently based on contemporary needs, demands to be realized, so that the existence of madrassas can be functional in answering daily reality, both in the context of developing science and technology, create jobs or in an attempt to  foster  a  critical  attitude,  dynamic  and   be  autonomous Madrasah  need to be developed to meet three demands minimal in improving the quality of madrasah, namely: (1) how to make the madrassa as a vehicle for fostering the spirit or practice of Islamic life, (2) how to strengthen the presence of the madrassa so equally with the school system, (3) how the madrassa able to respond to future demands science and technology in order to anticipate future developments and globalisasiMadrasah era in the context of preparing learners face of changing global age, it becomes important role. Madrasah success in preparing students to face future challenges more complex will produce graduates with a competitive advantage and became the leader of the nations   leaders   that   will   determine   the   direction   of   the development of this nation

Kata kunci: Madrasah, tradisi, tuntutan perubahan

pendahuluan

Madrasah merupakan salah satu lembaga pendikan Islam Indonesia yang biasanya  dibangun  disamping  masjid  dan  pesantren.  Madrasah  pernah berkembang pada abad 11 dan 12, atau periode pertengahan sejarah Islam khususnya  di  wilayah  Bagdad  seperti  madrasah  Nizamiyah.  Madrasah berkembang di Indonesia merupakan fenomena modern pada awal abad 20. Zaenuddin labai dapat disebut sebagai tokoh pertama yang pada tanggal 10 oktober 1915 mendirikan lembaga pendidikan madrasah di padang panjang, sebelum lembaga serupa berkembang di berbagai daerah. Madrasah di Indoneisa bukan merupakan kelanjutan atau adopsi langsung dari madrasah abad pertengahan1

Sebagai sebuah institusi pendidikan, madrasah merupakan bagian dari proses penentu nasib bangsa di masa depan. Oleh karena pendidikan adalah aset untuk mencapai cita-cita di masa mendatang, maka madrasah pun harus memperoleh posisi yang strategis dalam kehidupan anak bangsa. Madrasah yang dimaksud untuk saat ini adalah lembaga pendidikan yang dikelola oleh departemen Agama2

Berkenaan  kemajuan  pembangunan  di  berbagai  sektor  kehidupan menuntut  adanya  sumberdaya  manusia  yang  berkualitas.  Sifat  selektif masyarakat terhadap lulusan pendidikan makin ketat. Hal ini diikuti dengan perubahan sikap masyarakat yang semakin selektif pula dalam memilih lembaga pendidikan.

Bagi  madrasah  dalam  situasi  ini  tak  memberi  pilihan  lain  dalam meningkatkan   kualitas   pendidikan   yang   dikembangkannya.   Madrasah dituntut   menawarkan   program-programnya   secara   cerdas   berdasarkan kebutuhan  kekinian,  sehingga  keberadaan  madrasah  secara  fungsional mampu menjawab realitas keseharian, baik dalam konteks mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi, menciptakan lapangan kerja atau dalam upaya membina sikap hidup yang kritis, dinamis dan mandiri

Agak disesalkan, sistem pendidikan madrasah terbelit aktivitas rutin yang kurang cermat, ditandai dengan praktek pendidikan formal yang kurang menumbuhkan    kreativitas    dan    tanggungjawab,    bahkan    cenderung menanamkan sifat ketergantungan. Kemandirian, kepekaan dan kepedulian sosial peserta didik kurang digali. Akibatnya proses pendidikan madrasah gagal untuk melahirkan lulusan yang kreatif, bermutu dan berdaya saing. Padahal mereka pun tak semuanya memiliki kesempatan untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi.3

Tulisan ini bermaksud mengajak kita, agar mencermati kondisi dan persoalan yang dihadapi madrasah, dalam upaya meningkatkan kualitas pendidikan  yang  mampu  mewujudkan  effective  school  or  good  school (sekolah  yang  efektif  atau  sekolah  yang  baik),  sehingga  suatu    ketika madrasah akan menjadi pilihan utama.

Sejarah Lahir dan Berkembangnya Madrasah

Sejauh  ini  tampaknya  belum  ada  data  yang  pasti  kapan  istilah madrasah, yang mempunyai pengertian sebagai lembaga pendidikan, mulai digunakan di Indonesia. Para peneliti sejarah pendidikan Islam pun pada umumnya lebih tertarik membicarakan sistem pendidikan atau pengajaran tradisional  Islam  yang  digunakan  baik  di  masjid,  surau  (Minangkabau), pesantren (Jawa), dan lain-lain, daripada membicarakan madrasah.

Dalam beberapa hal, penyebutan istilah madrasah di Indonesia juga seringkali   menimbulkan   konotasi   "ketidakaslian",   dibandingkan   dengan sistem pendidikan Islam yang dikembangkan di masjid, dayah (Aceh), surau
(Minangkabau),  atau  pesantren  (Jawa),  yang  dianggap  asli  Indonesia. Berkembangnya madrasah di Indonesia di awal abad ke-20M, memang merupakan wujud dari upaya pembaharuan pendidikan Islam yang dilakukan
para   cendikiawan   Muslim   Indonesia,   yang   melihat   bahwa   lembaga pendidikan Islam "asli" (tradisional) tersebut dalam beberapa hal tidak lagi sesuai   dengan   tuntutan   dan   perkembangan   zaman.   Di   samping   itu, kedekatan sistem belajar-mengajar ala madrasah dengan sistem belajar-mengajar ala sekolah yang ketika madarash mulai bermunculan, memang sudah banyak dikembangkan oleh pemerintah Hindia Belanda. Sehingga banyak  orang  berpandangan  bahwa  madrasah  sebenarnya  merupakan bentuk lain dari sekolah, hanya saja diberi muatan dan corak keIslaman4

Pandangan ini diperkuat oleh kenyataan bahwa masuknya Islam ke bumi Nusantara ini, baik pada gelombang pertama (abad ke-7 M) maupun gelombang ke-2 (abad ke-13)5 tidak diikuti oleh muncul atau berdirinya madrasah. Lembaga-lembaga pendidikan yang bermunculan seiring dengan penyebaran Islam di Nusantara, terutama di Jawa, ketika itu ialah pesantren. Dengan alasan itu pula pesantren secara historis seringkali disebut tidak hanya identik dengan makna keislaman, tetapi juga mengandung makna keaslian Indonesia (indigenous).6 Karena itu membicarakan madrasah di Indonesia dalam kaitannya dengan sejarah munculnya lembaga-lembaga pendidikan tradisional Islam seringkali tidak bisa dipisahkan dari pembicaraan mengenai pesantren sebagai cikalbakalnya. Dengan kata lain, madrasah merupakan perkembangan lebih lanjut dari pesantren. Karena itu menjadi penting   untuk   mengamati   proses   historis   sebagai   mata   rantai   yang menghubungkan perkembangan pesantren di masa lalu dengan munculnya madrasah di kemudian hari.

Kehadiran   madrasah   sebagai   lembaga   pendidikan   Islam,   setidaktidaknya karena beberapa alasan: a) sebagai manifestasi pembaruan sistem pendidikan Islam, b) penyempurnaan sistem pesantren, c) keinginan sebagian kalangan santri terhadap model pendidikan barat, dan d) sebagai sintesa sistem pendidikan pesantren dan sistem pendidikan barat.7

Sedangkan pendapat lain seperti dikemukakan oleh Maksum, bahwa kelahiran madrasah di Indonesia disebabkan dua faktor8. Dua faktor yang dimaksud   adalah   pertama,   karena   pembaharuan   Islam,   kemunculan madrasah    tidak  bisa  dilepaskan  dari  gerakan  pembaruan  Islam,  yang dimotori  sejumlah  intelektual  Islam  dan  organisasi  keagamaan  Islam. Agaknya kaum intelektual dan aktivis gerakan Islam memandang, bahwa pendidikan   adalah   medan   yang   sangat   strategis   dalam   membentuk pandangan  keislaman  masyarakat.  Bahkan  pendidikan  dapat  dijadikan sebagai instrument pengelan ideology keagamaan, seperti yang dianut para aktivis  organiasasi  keagamaan.  Kedua,  sebagai  respon  terhadap  politik pendidikan Hindia Belanda. Madrasah dalam beberapa hal dapat dikatakan sebagai lembaga persekolahan ala belanda yang diberi muatan keagamaan. Sistem pendidikan yang diperkenalkan pemerintah kolonial, adalah sebagai jawaban terhadap kenyataan sistem pendidikan pribumi yang tidak layak untuk diperbaharuhi, karena kebiasaaan-kebiasaan yang cukup jelek, baik dari segi kelembagaan, kurikulum maupun metode pengajarannya.

Menulusuri sejarah pertumbuhan madrasah, banyak dijumpai aspek-aspek historis yang menarik. Seperti apa yang telah disinggung diatas, bahwa Zaman Belanda, pendidikan Islam berada dalam fase awal, yaitu melakukan eksperimen  materi  dan  metodologi  pembelajarannya.  Sedangkan  pada zaman jepang, pendidikan agama Islam ditangani secara khusus. Pemerintah Jepang  membuat  relasi-positif  dengan  kiai  dan  ustadz,  yang  kemudian membuat kantor urusan agama (shumubu). Setelah tahun 1945-tepatnya tanggal 3 Januari 1946 - kantor tersebut menjadi kementrian agama. Dalam tahun-tahun  pertama,  kementrian  agama  membuat  divisi  khusus  yangmenangani pendidikan agama di sekolah umum dan pendidikan agama di sekolah agama (madrasah dan pesantren).

Terminologi “ modernisasi madrasah” tampaknya mulai menguat saat orde baru melancarkan manuver-menuver politik pendidikannya. Baik melalui jalan  strukturisasi-yaitu  penjenjangan  madrasah  dengan  mengacu  pada aturan departemen pendidikan nasional termasuk desain kurikulumnya9

Setelah kekuasaan orde baru berjalan satu periode, pada tahun 1975, dikeluarkan SKB tiga menteri yang mencoba meregulasi madrasah secara integral-komprehensif.  Inilah  era  baru  madrasah  yang  ditandai  dengan
efektifnya pembenahan madrasah di tahun-tahun berikutnya. Akan tetapi, sebagai “sekolah  umum  plus  pendidikan  agama”  (kurikulum,70%:30%), menjadikan  madrasah  terbebani  dalam  mengejar  kualitas  sekolah  pada
umumnya. Selama lima pelita berikutnya, kualitas madrasah bisa dipukul rata menghasilkan lulusan yang lemah basic competence agamanya, demikian juga lemah penguasaan ilmu umumnya.

Dengan demikian, sampai reformasi politik meletus tahun 1988, dan terjadi transisi pemerintahan dengan berganti-gantinya kepala Negara, dunia pendidikan bukan tidak terkena dampaknya. Spectrum reformasi politik tersebut   memancar   ke   mana-mana,   termasuk   wilayah   pendidikan keagamaan. Madrasah justru mulai memikirkan posisinya,  nilai kehadirannya (bargaining position) dan menyadari hak-haknya, yang selama orde baru nasibnya dimarjinalkan secara tidak adil (diskriminatif). Prestasi penting era reformasi  adalah  disahkannya  UU  Sisdiknas  no.20  tahun 2003,  yang menempatkan madrasah ekuivalen dengan sekolah umum termasuk dalam
perlakuan anggarannya10

Salah satu ciri penting dari madrasah-madrasah periode pertumbuhan adalah bahwa eksistensinya antara satu sama lain masih terpisah-pisah. Usaha mendirikan madrasah masih bersifat pribadi atau organisasi dalam pengertian sempit. Madrasah-madrasah di padang tidak memiliki hubungan langsung maupun tidak langsung dengan madrasah-madrasah di jawa. Tidak ada  pengaturan  yang  bersifat  umum  dan  mengikat  mengenai  bentuk kelembagaan, struktur managemen, dan kurikulumnya. Seperti diisyaratkan oleh Steenbrink, usaha pendirian madrasah itu bertolak dari motif-motif masing-masing, namun semuanya mengarah pada peningkatan peran umat Islam. Dengan demikian uniformitas pada madrasah-madrasah itu hanya dapat   dilihat   dalam   sistem   pendidikannya   yang   berkelas   dan   isi pendidikannya memberi perhatian pada ilmu-ilmu agama saja.11

Di  antaram  ulama  yang  berjasa  dalam  perkembangan  madrasah  di Indonesia antara lain: syaikh Amrullah Ahmad (1907) di padang, KH. Ahmad Dahlan (1912) di Yogyakarta, KH Wahab Hasullah bersama KH. Mas Mansyur (1914) di Surabaya. Rangkayo Rahmah al-Yunusi (1915) di padang panjang, KH.  Hasyim  Asyari (1919)  mendirikan  Madrasah  Salafiyah  di  Tebuireng Jombang.

Organisasi-organisasi Islam yang bergerak di bidang pendidikan banyak mendirikan madrasah dan juga sekolah-sekolah umum dengan nama, jenis dan tingkatan yang bermacam-macam, antara lain:

1.   Muhammadiyah  (1912) mendirikan  Madrasah  Ibtidaiyah,  Tsanawiyah,Muallimin/Muallimat, Muballigin/Muballighat dan Madrasah Diniyah

2.   Al-irsyad (19130, mendirikan Madrasah Awaliyah, Madrasah Ibtidaiyah,Madrasah Tajhiziyah, Muallimin dan Tahassis.

3.   Matlul   Anwar   di   Menes   banten   mendirikan   Madrasah   Ibtidaiyah,Tsanawiyah, Aliyah dan Diniyah

4.   Perhimpunan Umat Islam (PUI) (1977) mendirikan Madrasah Diniyah,Madrasah Tsanawiyah dan Madrasah Pertanian.

5.   Persatuan Tarbiyah Islamiyah (Perti) (1928) mendirikan madrasah dengan berbagai  nama,  diantaranya  Madrasah  Tarbiyah  Islamiyah,  Madrasah Awaliyah, Tsanawiyah, Kuliyah Syariah

6.   Nahdlatul  Ulama     (1926)  mendirikan  Madrasah  Awaliyah,  Madrasah Ibtidaiyah, Tsanawiyah, Muallimin Wustha dan Muallimin Ulya12

Dengan demikian sejarah lahirnya madrasah bisa diartikan tindak lanjut dari   model   pendidikan   pesantren   yang   sudah   ada   sebelumnya   dan berkembangnya madrasah tidak lepas dari suatu gerakan pembaharuan pada pendidikan Islam itu sendiri.

 

Karakteristik Madrasah

Ciri  khas  madrasah  lebih  dari  hanya  sekedar  penyajian  mata pelajaran  agama.  Artinya,  ciri  khas  tersebut  bukan  hanya  sekedar menyajikan mata pelajaran agama Islam di dalam lembaga madrasah tetapi yang lebih penting ialah perwujudan dari nilai-nilai keislaman di dalam totalitas   kehidupan   madrasah.   Suasana   lembaga   madrasah   yang melahirkan   ciri   khas   tersebut   mengandung   unsur-unsur   sebagai berikut: (1)  Perwujudan  nilai-nilai  keislaman  di  dalam  keseluruhan kehidupan lembaga madrasah; (2) Kedidupan moral yang beraktuaisasi,

didirikan untuk menjadi basis perjuangan rakyat dalam melawan penjajah.20 Pesantren  merupakan  upaya  kalangan  pribumi  untuk  mengembangkan sistem  pendidikan  sendiri  yang  sesuai  dengan  tuntunan  agama  dan kebudayaan daerah untuk melindungi diri dari pengaruh sistem pendidikan kolonial (Belanda) saat itu, melalui "politik balas budi", atau yang lebih dikenal dengan sebutan "politik etis".

Namun,    meskipun    pesantren    berperan    lebih    dahulu    dalam membendung    pengaruh    pendidikan    kolonial,    dibandingkan    dengan madrasah,  para  pembaharu  pendidikan  Islam  di  Indonesia  tampaknya
mengakui bahwa dalam banyak hal, lembaga pendidikan Islam tradisional ini mengandung   banyak   kelemahan,   sementara   pada   sisi   lain   lembaga pendidikan yang didirikan pemerintah kolonial Belanda harus diakui memiliki
banyak kelebihan. Madrasah yang, seperti kebanyakan lembaga modern lainnya, masuk pada sistem pendidikan di Indonesia pada awal abad ke-20, ini dimaksudkan sebagai upaya menggabungkan hal-hal yang positif dari
pendidikan pesantren dan sekolah belanda. Lembaga pendidikan madrasah ini secara berangsur-angsur diterima sebagai salah satu institusi pendidikan Islam   yang   juga   berperan   dalam   perkembangan   peningkatan   mutu
pendidikan di Indonesia.21

Telah disinggung bahwa madrasah berbeda pengertiannya antara masa klasik Islam dengan masa ketika lembaga pendidikan tersebut masuk ke Indonesia pada sekitar awal abad ke-20. Madrasah di Indonesia merujuk pada pendidikan dasar sampai menengah, sementara pada masa klasik Islam madrasah merujuk pada lembaga pendidikan tinggi (the institution of higher learning").22 Perbedaan tersebut pada gilirannya bukan hanya merupakan masalah perbedaan definisi, tapi juga menunjukkan perbedaan karakteristik antara keduanya. Merujuk pada penjelasan Nakosteen,23 motif pendirian madrasah  pada  masa  klasik  Islam  ialah  untuk  mengembangkan  ilmu pengetahuan  dan  pendidikan  umum  (sekuler),  yang  dianggap  kurang memadai jika dilakukan di dalam masjid, sebab masjid merupakan tempat ibadah.

Namun,   upaya   untuk   mengembangkan   ilmu   pengetahuan   dan pendidikan  umum  itu  di  madrasah  sejak  awal  perkembangannya  telah mengalami kegagalan. Sebab, penekanan pada ilmu-ilmu agama (al-ulum al-dmiyyah) terutama pada bidang fikih, tafsir, dan  hadits lebih dominan. Sehingga ilmu-ilmu non-agama khususnya ilmu-ilmu alam dan eksakta, tetap berada dalam posisi marjinal.24 Berbeda dengan madrasah di Indonesia yang sejak awal pertumbuhannya telah menjatuhkan pilihan pada (a) madrasah yang   didirikan   sebagai   lembaga   pendidikan   yang   semata-mata   untuk mendalami agama (li tafaqquh fiddin), yang biasa disebut madrasah diniyah
salafiyah; dan (b) madrasah yang didirikan tidak hanya untuk mengajarkan ilmu pengetahuan dan nilai-nilai Islam. Tapi juga memasukkan pelajaran-pelajaran   yang   diajarkan   di   sekolah-sekolah   yang   diselenggarakan
pemerintah Hindia Belanda; seperti madrasah Adabiyah di Sumatera Barat, dan madrasah yang diselenggarakan oleh Muhammadiyah, Persatuan Islam, dan PUI di Majalengka.25

Dari  keterangan  di  atas  menarik  untuk  dicatat  bahwa  salah  satu karakteristik   madrasah   yang   cukup   penting   di   Indonesia   pada   awal pertumbuhannya tidak ada konflik atau upaya mempertentangkan ilmu-ilmu
agama dengan ilmu-ilmu umum. Konflik (lebih tepat disebut perselisihan pendapat),  biasanya  terjadi  antara  satu  organisasi  keagamaan  dengan organisasi keagamaan lain yang memiliki faham keagamaan yang berbeda,
dan     mereka     sama-sama     mendirikan     madrasah.     Misalnya     NU, Muhammadiyah,   Persis,   Al-Irsyad,   Tarbiyah   Islamiyah,   yang   memiliki madrasahnya sendiri-sendiri untuk mensosialisasikan dan mengembangkan
faham keagamaan masing-masing.

Madrasah di Indonesia secara historis memiliki karakter yang sangat merakyat,  berbeda  dengan  madrasah  pada  masa  klasik  Islam.  Sebagai lembaga pendidikan tinggi madrasah pada masa klasik Islam terlahir sebagai
gejala  urban  atau  kota.  Madrasah  pertama  kali  didirikan  oleh  Dinasti Samaniyah (204-395 H/819-1005 M) di Naisapur kota yang kemudian dikenalsebagai daerah kelahiran madrasah26. Daerah Naisapur mencakup sebagian
Iran, dan sebagian Afghanistan serta bekas Uni-Sovyet antara laut Kaspia dan laut Aral. Dengan inisiatif yang datang dari penguasa ketika itu, maka praktis madrasah tidak kesulitan menyerap hampir segenap unsur dan fasilitas modern, seperti bangunan yang permanen, kurikulum yang tertata rapi, pergantian jenjang pendidikan, dan tentu saja anggaran atau dana yang dikucurkan oleh pemerintah.

Hal ini berbeda dengan madrasah di Indonesia. Kebanyakan madrasah di Indonesia pada mulanya berkembang atas inisiatif tokoh masyarakat yang peduli,   terutama   para   ulama   yang   membawa   gagasan   pembaharuan pendidikan. Setelah mereka kembali dari menuntut ilmu di Timur Tengah. Dana   pembangunan   dan   pendidikannya   pun   berasal   dari   swadaya masyarakat. Karena inisiatif dan dananya didukung oleh masyarakat, maka masyarakat diuntungkan secara ekonomis, artinya mereka dapat memasukkan anak-anak mereka ke madrasah dengan biaya ringan.27

Sebagai lembaga pendidikan swadaya, madrasah menampung aspirasi sosialbudaya-agama masyarakat yang tinggal di wilayah pedesaan. Tumbuh dan berkembangnya madrasah di pedesaan itu menjadi petunjuk bahwa masyarakat  Indonesia  ternyata  memiliki  komitmen  yang  sangat  tinggi terhadap pendidikan putra-putri mereka. Dari sudut pandang lain, hal itu juga berarti ikut meringankan beban pemerintah di bidang pendidikan. Dalam hal ini  patut  dicatat  bahwa  dari 36.000  jumlah  madrasah  yang  ada  (yang mengajarkan ilmu-ilmu agama dan ilmu-ilmu umum), 96 persen di antaranya dikelola oleh masyarakat secara swadaya, atau madrasah swasta. Sementara itu madrasah yang mengkhususkan diri pada mata pelajaran agama, yaitu madrasah  diniyah  yang  dikelola  masyarakat,  jumlahnya  telah  mencapai 22.000.28

Kini madrasah dipahami sebagai lembaga pendidikan Islam yang berada di bawah Sistem Pendidikan Nasional dan berada di bawah pembinaan Departemen Agama. Lembaga pendidikan madrasah ini telah berkembang sehingga menjadi bagian dari budaya Indonesia, karena ia tumbuh dan berproses bersama dengan seluruh perubahan yang terjadi di masyarakat. Kurun waktu cukup panjang yang dilaluinya, yakni kurang lebih satu abad, membuktikan bahwa lembaga pendidikan madrasah telah mampu bertahan dengan  karakternya  sendiri,  yakni  sebagai  lembaga  pendidikan  untuk 26 membina   jiwa   agama   dan   akhlak   anak   didik.   Karakter   itulah   yang membedakan madrasah dengan sekolah umum. Sehingga dalam UndangUndang Sistem Pendidikan Nasional (UUSPN) 1989, madrasah didefinsikan sebagai "sekolah umum dengan ciri khas Islam” sebuah pengakuan atau sebutan yang cukup simpatik.

 

Tradisi dan Tuntutan Perubahan Madrasah Pada  awal  pertumbuhannya,  madrasah  berperan  sebagai  lembaga
pendidikan yang mengajarkan ilmu-ilmu  murni, sebagai perpanjangan dari madrasah diniyah yang telah ada sejak abad pertama sejarah Islam di timur tengah. Sementara di pihak lain, sekolah-sekolah yang mengajarkan ilmu-ilmu umum telah ada sebelum adanya madrasah. Dengan demikian, awal pembaharuan Islam di nusantara terdapat dualitas model pendidikan; yakni pendidikan   Islam   dan   pendidikan   umum.29   Kondisi   ini   selanjutnya berkembang  menjadi  praktik  pendidikan  dan  pengembangan  ilmu  yang bernuansa dikotomik, sekolah agama yang berkolaborasi dengan keilmuan umum.

Namun iklim dikotomik ini secara perlahan tereduksi dan bahkan hilang sama sekali, terutama ketika ditetapkannya udang-undang nomor 2 tahun 1989 tentang sistem pendidikan nasional, peraturan pemerintah nomor 28 dan 29  tahun 1990  tentang  pendidikan  dasar  dan  menengah,  serta diberlakukannya kurikulum 1994, dimana status madrasah sebagai madrasah diniyah berubah menjadi sekolah berciri khas Islam. Dengan perkataan lain, kedudukan  madrasah  sudah  berbanding  lurus  dengan  sekolah-sekolah umum30

Reposisi  madrasah  secara  konstitusi,  agaknya  menjadi  spirit utama dalam  gerakan  kolaborasi  ilmu  pengetahuan  dan  teknologi,  sekaligus memberikan   legitimasi   teologis   perubahan   kurikulum   madrasah   yang integratif, sehingga kemudian muncul istilah madrasah terpadu.

Perkembangan  ini  membawa  implikasi  yang  cukup  mendasar  bagi eksistensi madrasah yang semula dipandang sebagai institusi keagamaan namun, kemudian mengalami pengkayaan peran dan fungsi. Oleh karena itu, madrasah kemudian mendapat beban yang cukup berat, yaitu kewajiban untuk memberikan materi-materi dari dua perspketif sekaligus. Dan dari sinilah dilema dan bibit permasalahan mulai muncul31

  Menurut Mulkhan dalam bukunya Nalar Spiritual Pendidikan”, sejak perubahan situasi ini madrasah terus menghadapi pilihan yang sulit, yaitu di antara kebutuhan ukhrowi dan kebutuhan duniawi. Di satu sisi, madrasah dituntut bisa berfungsi meningkatkan pemahaman ilmu-ilmu agama dan kemampuan mengamalkan ajaran Islam. Sementara di sisi lain, lembaga ini dituntut   berfungsi   menumbuhkan   kemampuan   peserta   didik   dalam memenuhi kebutuhan hidup, yang tidak seluruhnya bisa dipecahkan dengan ilmu agama.32

Selain posisi madrasah yang berada antara dua kutub tersebut, posisi eksternal  masih  belum  banyak  menunjang  dalam  pembinaan  madrasah secara optimal. Kondisi tersebut antara lain tidak memadainya dana yang diperlukan, kurangnya tenaga guru dan tenaga kependidikan lainnya yang memenuhi persyaratan, kurangnya tenaga administrasi dan perencanaan pendidikan yang memiliki kemampuan serta kendala-kendala lain.

Dalam kondisi yang demikian para pemegang kebijaksanaan, perencana dan   pengelola   madrasah   dituntut   untuk   mampu   memiliki   strategi pengelolaan madrasah yang tepat dan operasional berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, khususnya pada era desentralisasi dan otonomi daerah yang secara formal telah diberlakukan tanggal 1 januari 200133

Munculnya   kebijakan   tentang   desentralisasi   pendidikan,   sebagai implikasi dari pemberlakuakn undang-undang republik Indonesia nomor 22 tahun 1999 tentang pemerintahan daerah dan peraturan pemerintah dan kewenangan provinsi sebagai daerah  otonom, sebanarnya merupakan angin segar   bagi   kehidupan   madrasah,   karena   kebijakan   tersebut   berarti mengembalikan madrasah kepada habitatnya. Pergeseran pola sentralisasi ke desentralisasi   dalam   pengelolaan   pendidikan   ini   merupakan   upaya pemberdayaan   madrasah   dalam   peningkatan   mutu   pendidikan   secara berkelanjutan, terarah, dan menyeluruh. Karena itu, departemen agama
perlu  membuat  kebijakan  yang  jelas  mengenai  status  madrasah  dalam konteks otonomi daerah34.

Dengan demikian madrasah perlu dikembangkan untuk memenuhi tiga tuntutan  dalam  peningkatan  kualitas  madrasah,  yaitu: (1)   bagaimana menjadikan madrasah sebagai wahana untuk membina ruh  atau praktik hidup  ke-islaman, (2)  bagaimana  memperkokoh  keberadaan  madrasah sehingga sederajat dengan sistem sekolah, (3) bagaimana madrasah mampu merespons tuntutan masa depan guna mengantisipasi perkembangan ipteks dan era globalisasi.35

Sedangkan  arah  pengembangan  pendidikan  di  madrasah  bertujuan untuk dapat “mengantarkan peserta didik menjadi manusia yang beriman dan    bertakwa, berakhlak    mulia,    berkepribadian,    menguasai    ilmu pengetahuan dan teknologi, serta mampu mengaktualisasikan diri dalam kehidupan bermasyarakat berbangsa dan bernegara.”36

Madrasah,    dalam    konteks    mempersiapkan    peserta    didik menghadapi perubahan zaman akibat globalisasi saat ini memiliki peran sangat  penting.  Keberhasilan  madrasah  dalam  menyiapkan  peserta didik dalam menghadapai tantangan masa depan yang lebih kompleks akan menghasilkan lulusan yang yang memiliki keunggulan kompetitif dan menjadi pemimpin umat, pemimpin bangsa.

Dalam kaitannya dengan era globalisasi dan perdagangan bebas yang penuh dengan persaingan, madrasah juga harus mempersiapkan peser