Wayang sebagai Salah Satu Budaya Indonesia




Seni pertunjukan yang telah berusia lebih dari lima abad. Membawa kisah Ramayana dan Mahabharata, pagelaran selama semalam suntuk ini menjadi ruang yang tepat untuk melewatkan malam, berefleksi dan memahami filosofi tentang kehidupan.

Pagelaran wayang dan/atau karawitan, di masa sekarang dikenal sebagai suatu pagelaran yang dimainkan menurut suatu ‘gagrak’ (pola, gaya, mahzab, atau corak) dan ‘pakem’ tertentu. Seperti pada lukisan, dikenal ada lukisan gaya naturalis, gaya super-naturalis, gaya abstrak, gaya modern dan sebagainya. Seperti itu pula permainan alat-alat gamelan yang lazim disebut ‘karawitan’. Bahkan kita pada masa sekarang, juga mengenal sejumlah seniman karawitan dan/atau wayang yang menonjol dalam suatu gagrak tertentu.

Sangat mungkin, persoalan ‘gagrak’ tidak terlampau dominan di masa lampau. Mungkin hal ini juga disebabkan sulitnya hubungan komunikasi antara daerah yang satu dengan daerah lainnya. Namun, sejalan dengan perkembangan budaya dan hubungan antar daerah (di masa lampau, biasanya merupakan hubungan antar kerajaan atau perdagangan), berkembang pula sifat-sifat kedaerahan yang diterapkan dalam permainan alat-alat gamelan (karawitan) dan juga pada berbagai permainan wayang. Dengan demikian, akhirnya kita mengenal adanya sejumlah bentuk ‘gagrak’ tertentu, sesuai sifat khas kedaerahan tertentu.

Penerapan gagrak tertentu, tidak saja dilakukan terhadap permainan alat-alat gamelan, tetapi juga terhadap garap, cara memainkan alat gamelan, aransemen, komposisi, pagelaran wayang, bentuk-rupa wayang, jenis wayang, cara berbicara (antawacana), cara menceritakan (janturan), sulukan (nyanyian dhalang), cara nembang (menyanyikan), atau senggakan (vokal pengisi). Bahkan, sampai ke persoalan pakaian adat atau pakaian tradisional yang digunakan, juga bisa sangat berbeda. Semua ini, merupakan kekayaan budaya Nusantara yang luar biasa dan tak ternilai harganya. Perkembangan seperti ini, jelas merupakan suatu perkembangan yang bernuansa positif dan patut dihargai, dan diapresiasi.

Pakem dipahami sebagai suatu ‘kesepatan bersama’ yang dirancang, dibuat, disepakati, dan dipatuhi oleh sekelompok orang (seniman) pendukungnya. Pakem, di masa lampau memang dikembangkan di pusat-pusat kekuasaan, seperti keraton atau pusat-pusat pemerintahan (kerajaan). Jadi bayangkanlah, pakem ini di masa sekarang kita kenal sebagai semacam ‘juklak’ (petunjuk pelaksanaan) atau ‘juknis’ (petunjuk teknis), yang digunakan untuk melaksanakan suatu pagelaran karawitan dan/atau wayang.

Pakem, bukanlah sesuatu yang bersifat mutlak, dogmatis, dan sama sekali tidak bisa berubah. Meskipun demikian, dukungan yang sangat kuat terhadap suatu pakem tertentu, nyatanya memang ada. Di masa lampau, dominasi pusat-pusat kekuasaan atau pusat-pusat pemerintahan (kerajaan), memang sangat nyata. Karenanya, di masa lalu terjadinya perubahan pakem boleh dikatakan sangat kecil kemungkinannya untuk terjadi. Namun, sejalan dengan terjadinya perkembangan budaya dan pergeseran pusat-pusat kekuasaan (pemerintahan), pakem bergeser dan menjadi sesuatu hal yang tidak lagi terlalu dipatuhi sebagai sesuatu yang bersifat dogmatis dan wajib diikuti.

Di sekitar tahun 1966, Ki Narto Sabdo, seorang dalang wayang kulit purwa yang berasal dari Kota Semarang, mulai ‘melanggar pakem’ dengan menerapkan dua gagrak yang berbeda, yaitu Surakarta dan Yogyakarta (Mataraman) dalam setiap pagelaran wayang kulit purwa yang dimainkannya. Bahkan, pada masa berikutnya, beliau juga menyisipkan gagrak Banyumasan dan bahkan mengkombinasikannya dengan permainan gaya Sunda. Pada awalnya, semua yang dilakukan Ki Narto Sabdo banyak ditentang orang, terutama mereka yang menjadi pendukung fanatik gagrak-gagrak tersebut. Ketidak-sukaan terhadap apa yang dilakukan Ki Narto Sabdo, bahkan sampai pada tindakan pelarangan mementaskan pagelaran di suatu wilayah tertentu.

Tetapi, fakta yang didapat ternyata berbeda. Kelompok-kelompok orang yang menentang Ki Narto Sabdo, berhadapan dengan masyarakat luas yang tidak mempersoalkan apa itu gagrak atau pakem tertentu. Bagi masyarakat pecintanya, pagelaran wayang kulit purwa yang dilakukan Ki Narto Sabdo bisa diterima khalayak penontonnya, serta ‘sangat memenuhi selera dan keinginan’ mereka. Bahkan pada sekitar tahun 1971, hasil polling yang dilaksanakan oleh RRI (Radio Republik Indonesia), menunjukkan bahwa Ki Narto Sabdo merupakan dhalang paling populer di Indonesia (saat itu).

Sejak peristiwa ini, sedikit demi sedikit, pagelaran wayang kulit purwa yang menerapkan beberapa gagrak sekaligus, mulai cair dan tidak lagi dimusuhi atau dipertentangkan. Bahkan, pada masa sekarang, kita bisa melihat permainan dua atau tiga gagrak yang digabungkan dalam satu pagelaran wayang kulit purwa, sudah merupakan kelaziman yang tidak lagi dipersoalkan.

Meskipun kondisi pada masa sekarang sudah sedemikian cair, tetapi pagelaran wayang (yang manapun), sebenarnya tetap berkiblat pada suatu gagrak dan/atau pakem tertentu. Tentu saja, seringkali dilengkapi dengan perubahan, penyesuaian, dan penggabungan dengan gagrak lainnya. Karenanya, pada masa sekarang kita sangatlah beruntung masih bisa menonton pagelaran-pagelaran wayang sesuai dengan gagrak dan/atau pakem tertentu.

Pagelaran gagrak Surakarta

Pagelaran karawitan dan/atau wayang gagrak Surakarta (Solo), umumnya sangat mengeksploitas permainan alat-alat gamelan yang eksotis, rumit, dan anggun.

Pagelaran gagrak Yogyakarta

Di kalangan masyarakat awam, gagrak Yogyakarta lebih dikenal sebagai gagrak Mataraman. Pagelaran karawitan dan/atau wayang gagrak Yogyakarta (Mataraman), umumnya sangat mengekspolitas permainan alat-alat gamelan yang bersifat ‘asli Mataram’, penuh kerakyatan, dan penuh kebebasan berkespresi.

Pagelaran gagrak Banyumasan

Pagelaran karawitan dan/atau wayang gagrak Banyumasan, lebih dikenal karena sangat dekat dengan gagrak Pesisiran. Umumnya menampilkan pagelaran yang bersifat gembira, penuh kelucuan, kerakyatan, banyak menerapkan ‘senggakan’, dan penuh sorak-sorai kegembiraan.

Pagelaran gagrak Semarangan

Pagelaran karawitan dan/atau wayang gagrak Semarangan, banyak mengeksploitasi gendhing-gendhing berbasis nada pelog. Gagrak Semarangan bisa dikatakan menerima dominasi yang kuat dari gagrak Surakarta. Meskipun demikian, permainan karawitannya yang banyak mengeksploitasi nada pelog, membuatnya sangat berbeda dan berkesan sangat gagah.

Pagelaran gagrak Pesisiran

Pagelaran karawitan dan/atau wayang gagrak Pesisiran, merupakan bentuk pagelaran yang paling banyak mengeksploitasi permainan gendhing-gendhing yang berbasis nada ‘slendro barang miring’ (bernada minor). Ini merupakan salah satu kekhasan yang umumnya tidak terdapat pada gagrak lainnya. Karenanya, permainan wayang, karawitan, dan vokalnya; cenderung menampilkan warna dan suasana yang sendu, romantis, dan juga sedih.

Pagelaran gagrak Jawa Timuran

Pagelaran karawitan dan/atau wayang gagrak Jawa Timuran, mempunyai gaya yang sangat khas dan berbeda dengan gagrak-gagrak lain yang berasal dari Jawa Tengah dan Jawa Barat. Kesan kuat, merdeka, enerjik, dan garang; sangatlah terlihat tidak hanya pada permainan alat-alat gamelannya, tetapi juga pada bentuk-rupa wayangnya.

Pagelaran gagrak Bali

Pagelaran karawitan dan/atau wayang gagrak Bali, bisa dikatakan benar-benar bebda dengan yang ada di Pulau Jawa. Banyak orang yang tidak tahu, bahwa gamelan Bali yang dipakai sebagai kelengkapan karawitan wayang gagrak Bali, adalah gamelan berbasis tangga-nada slendro, dan memakai ricikan gamelan berupa gender. Karenanya, pagelaran karawitan dan/atau wayang gagrak Bali menjadi sangat eksotis dan sangat anggun. Ini akan merupakan pagelaran yang amat sangat berbeda dengan pagelaran tari Bali misalnya (yang sudah sangat terkenal).

Pagelaran gagrak Sunda

Pagelaran karawitan dan/atau wayang gagrak Sunda, berkembang sangat pesat sejak sekitar tahun 1970-an. Permainan karawitan gagrak Sunda, mulai menerima banyak perubahan sejak masa itu sampai sekarang. Gaya permainan wayang yang sangat mengeksploitasi tokoh-tokoh wayang tertentu, merupakan salah satu kekhasan pagelaran wayang gagrak Sunda masa sekarang.

Pagelaran gagrak Luar Jawa

Pagelaran karawitan dan/atau wayang gagrak Luar Jawa, seringkali sangat dipengaruhi kondisi geografis, bahasa, dan adat kebiasaan setempat. Karenanya, pada masa sekarang kita bisa melihat gagrak Luar Jawa ini berkembang di beberapa wilayah yang berbeda, dan menghasilkan bentuk pagelaran karawitan dan/atau wayang yang berbeda-beda pula. Misalnya, pagelaran wayang gaya Jambi, Palembang, Banjar-Masin, Lombok, atau lainnya.

Pagelaran gagrak Cirebonan

Pagelaran karawitan dan/atau wayang gagrak Cirebonan, bisa dikatakan merupakan gabungan beberapa gagrak yang berbeda. Umumnya, merupakan gabungan gagrak Sunda (yang sangat dominan), gagrak Banyumasan (Jawa), dan beberapa di antaranya juga dengan gagrak Betawi. Pengaruh agama Islam dan budaya Cina, terasa sangat lekat dengan berbagai pagelaran karawitan dan/atau wayang gagrak Cirebonan.

Pagelaran gagrak Betawi

Pagelaran karawitan dan/atau wayang gagrak Betawi, secara umum sangat dipengaruhi oleh gagrak Sunda dan budaya Cina.

Bram Palgunadi