Dinamisasi Al-Quran Sepanjang Zaman
Al-Qur’an yang mulia. Semua orang mengetahui bahwasannya al-Qur’an adalah wahyu Ilahi yang diturunkan kepada umat manusia melalui Nabi Muhammad Saw. Sebagai pembuktian bahwa al-Qur’an merupakan kalamullah yang orisinal dan otentik kepada Rasulullah. Hal ini bisa kita cermati jika al-Qur’an tiada duanya di dunia ini.
Lain halnya dengan kitab-kitab yang dianggap suci, bisa bermacam-macam adanya. Jika kita telisik kitab selain al-Qur’an banyak versinya, versi ini, itu dan lainnya. Inilah yang menunjukkan keaslian dan kemukjizatannya sebagai wahyu Ilahi. Selain itu, al-Qur’an juga dirancang berdasarkan qadla’ dan qadar Allah Swt yang berlaku di dunia ini sebagai sunnatullah. Maka, dapat dipahami bahwa al-Qur’an harus bisa berjalan ke segala penjuru dimanapun dan sampai kapanpun.
Banyak diantara kita pasti berpikir, bagaimana al-Qur’an yang tunggal itu bisa berjalan kapanpun dan dimanapun keberadaannya? Tidak peduli zaman, tempat, dan bahkan perkembangan pikiran serta keadaan yang selalu berubah-ubah? Perlu diketahui, bahwasannya substansi masalah – pokok bahasan – yang termuat di dalam al-Qur’an sebenarnya sama dengan substansi masalah manusia, serta apa yang ada di dunia ini. Akan tetapi bentuknya yang berubah.
Sejak dahulu, ada berbagai tipe dan karakter seseorang yang terlahir di muka bumi, seperti yang dijelaskan didalam al-Qur’an tentang tipe manusia. Ada orang ikhlas, ada yang serakah, ada yang kejam, ada yang islam, ada yang kafir maupun fasik. Fenomena seperti ini akan tetap ada sampai hari kiamat nanti. Hanya saja, bentuknya berbeda dari satu zaman ke zaman lainnya. Misalnya, bentuk orang serakah zaman dulu, dia repot dengan membawa kantong besar (tempat makan) yang berbeda dengan zaman sekarang, jika orang serakah itu hanya bermodalkan pena serta tanda tangan (jabatan dan kewenangan).
Sebenarnya masalahnya itu sama, yakni tentang keserakahan, tapi bentuknya berbeda. Sehingga al-Qur’an menjelaskan secara substansional yang sama pula pada ayat-ayatnya. Jadi, tidak perlu ada perubahan secara substansi maupun tekstual al-Qur’an. Kemungkinan besarnya yakni perubahan yang terjadi dalam penafsiran, yang pastinya selalu berkembang karena perubahan pemikiran yang semakin hari semakin berkembang sesuai dengan tuntutan zaman. Inilah bedanya al-Qur’an dengan tafsir.
Sebagai contoh ayat tentang balasan orang di hari kiamat pada ayat :
Ùَمَنْ يَعْمَلْ Ù…Ùثْقَالَ ذَرَّة٠خَيْرًا يَرَه٠. وَمَنْ يَعْمَلْ Ù…Ùثْقَالَ ذَرَّة٠شَرًّا يَرَه
“Maka barang siapa mengerjakan kebaikan seberat dzarrah, niscaya dia akan melihat (balasan)nya. Dan barang siapa mengerjakan kejahatan seberat dzarrah, niscaya dia akan melihat (balasan)nya” (Az-Zalzalah 7-8)
Ini mengalami perkembangan makna “dzarrah”, yakni yang dahulu menafsirkan dengan “semut kecil” kemudian berubah menjadi “biji”, maka sekarang berkembang menjadi “atom”. Karena maksud dari ayat tersebut adalah hal terkecil dari amal perbuatan akan ada balasannya. Mungkin kedepannya juga akan ada makna yang lainya jika ditemukan sesuatu yg lebih kecil daripada atom.
Selamanya, al-Qur’an itu adalah kitab suci, yang apabila dibaca mendapatkan pahala bahkan memberikan petunjuk dan hidayah. Sedangkan tafsir adalah sebuah pemikiran dan pandangan kita dalam memahami al-Qur’an. Jadi, kalau tafsir itu dari kita kepada al-Qur’an, sebaliknya tafsir tak pernah sama dan sebangun dengan kesucian maupun kebesarannya terhadap al-Qur’an. Sebab, tafsir itu adalah kemampuan kita untuk mengerti al-Qur’an. Hanya saja, dalam menafsirkan al-Qur’an itu tentu harus memakai ilmu, tidak boleh seenaknya.
Imam Ibnu Katsir dalam Kitab Tafsir Al-Qur’an Al-Adzim mengatakan “barangsiapa menafsirkan al-Qur’an dengan logika (tanpa ilmu), maka hukumnya haram”
Dalam hal ini Syekh Manna’ Qathan mengatakan, bawasannya seseseorang yang akan menafsirkan Al-Qur’an harus memiliki minamal 14 cabang keilmuan, seperti Ilmu Qiraat, Ilmu Nahwa, Ilmu Sharf, Ilmu Rasm, Ilmu Balgahah, dan sebagainya. Kita tahu bahwa banyak ayat al-Qur’an yang penjelasannya terdapat pada tempat –surah– lain, dan bukan langsung ada pada ayat lanjutannya tersebut. Yang lebih kita kenal dengan Ilmu munasabah ayat.
Hal ini berbeda dengan kitab-kitab lain di dunia yang memakai bab atau tema dalam setiap penjelasannya. Sehingga, dari urutan bab tersebut, penjelasannya akan mempermudah pemahaman seseorang. Sebab, jika buku atau kitab dibuat tidak tertib, maka orang tidak akan paham apa yang dimaksudkannya. Bahkan akan menimbulkan kebingungan bagi pembacanya.
Di Negara Barat, mereka mengatakan bahwa al-Qur’an itu adalah kitab yang paling membingungkan di dunia. Bagaimana tidak, karena al-Qur’an tidak disusun secara tematik dan persoalannya. Berbeda dengan Umat Islam yang membawa keimanan ketika membaca dan memepelajari al-Qur’an. Sehingga mudah untuk mengerti apa yang dijelaskan oleh al-Qur’an, karena hati mendapat hidayah dan Nurullah.
Maka dari pada itu, alangkah baiknya dalam menyikapi berbagai probelmatika umat, selayaknya kita bertanya kepada yang mengetahui (Ahlinya). Firman Allah Swt.
ÙَسَۡٔلÙوٓاْ Ø£ÙŽÙ‡Û¡Ù„ÙŽ ٱلذّÙكۡر٠إÙÙ† ÙƒÙنتÙÙ…Û¡ لَا تَعۡلَمÙونَ
“… maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kalian tidak mengetahui.” (an-Nahl: 43)
Hal tersebut memungkinkan kita untuk memaklumi adanya perbedaan penafsiran. Karena al-Qur’an itu tidak berubah, hanya saja penafsirannya yang bermetamorfosis. Dengan bertanya kita kan tahu dan menambah ilmu dan wawasan kita.
Akhirnya, marilah kita terus belajar al-Qur’an, agar mendapatkan tempat yang mulia disisi Allah Swt. Wallahu A’lam…