Ekonomi Islam dan Keuangan Syariah Dalam Al-Quran




Tidak seperti dahulu di zaman Rasul saw saat dunia dapat dikuasai dengan tingginya peradaban dan akhlak mulia, kini dunia sudah bisa digenggam dengan kekuatan uang. Oleh karenanya mempelajari ilmu tata kelola uang mutlak diperlukan. Sejatinya para ulama terdahulu sudah menggariskannya dalam literatur fikih mereka yang kesemuanya bersumber dari al-Quran dan sunah. Sehingga tugas ulama saat ini adalah mengaplikasikan itu semua. Memang fikih kontemporer tidak sama persis dengan fikih klasik. Namun secara garis besar al-Quran telah memberi batasan-batasan tertentu sehingga bisa menjadi benang merah antara dua fikih beda zaman tersebut.

Ekonomi yang dalam bahasa Arab disebut al-Iqtishâd secara etimologi berarti pertengahan atau sederhana (tidak terlalu ketat maupun tidak terlalu longgar). Sebagaimana redaksi yang digunakan dalam QS Luqman [31]: 19, biasa saja dalam berjalan; jangan terlalu cepat dan jangan terlalu lambat. Ditilik dari sisi terminologinya dalam Islam ekonomi berarti tengah-tengah dalam mengelola uang artinya mendapatkan dan membelanjakannya dengan cara yang benar. Definisi tersebut menjadi prinsip berekonomi dalam Islam. Berbeda dengan prinsip ekonomi pada umumnya yang mengacu pada tiga pilar yakni; a. produksi (intâj) seperti perdagangan, pertanian, industri dsb; b. konsumsi (istihlâkî) semisal sandang, pangan, papan, biaya pendidikan dan kesehatan; c. menyimpan/saving (iddikhâr). Tentu ketiganya ini juga ada dalam mengelola keuangan secara syariah, namun hanya sebatas unsur berekonomi bukan prinsip dan menjadi tujuannya.

Berekonomi dalam Islam didasarkan pada keyakinan kuat untuk mematuhi Dzat Yang Maha Mengatur, Allah swt. Sebab orang yang berharta hakikatnya hanya dititipi oleh Allah swt. Layaknya orang yang dititipi tentu akan mengikuti syarat dan ketentuan orang yang menitipinya. Begitu pula dengan orang yang mengelola uang, harusnya ia patuh terhadap undang-undang keuangan syariah. Sehingga batasan halal-haram menjadi kode etik dalam berekonomi.

Kaidah hukum Islam menyatakan bahwa segala sesuatu hukum asalnya adalah boleh sampai ada nas-nas yang mengharamkannya. Batasan haram yang sangat jelas dalam bermuamalah khususnya dalam hal mengelola keuangan adalah la ta’kulû amwâlakum baynakum bi al-Bâthil (tidak memperoleh harta dengan cara tidak benar) QS al-Baqarah [2]: 188/ QS al-Nisa’ [4]: 29. Sementara al-Sunah juga memberikan rambu-rambu lâ dharar wa lâ dhirâr (jangan sampai merugikan diri sendiri maupun orang lain) HR. Ibnu Majah dari Said al-Khudri.

Ketika rambu-rambu di atas diterjang misalnya melalui praktek riba maka berakibat pada melemahnya ekonomi itu sendiri sebut saja harga komoditas melambung tinggi, jumlah hutang berlipat ganda, hingga penimbunan untuk memainkan harga pasar. Terakhir yang juga perlu dicatat adalah al-Quran mengajarkan transparansi dalam mengelola keuangan. Ini bisa dilihat pada QS al-Baqarah [2]: 282 yang menganjurkan mencatat hutang maupun transaksi lainnya. Kini tinggal terserah umat Islam, apa mereka mau menjalankan ajaran agamanya secara tulus atau malah merelakan nilai-nilai ajaran Islam di-coppas umat lain. [AFR] Wallahu Aʻlam