Ibadah dan Kerja Sejak Muda



artikel

Di dalam mengembangkan hubungan kita dengan Allah SWT, tidak cukup hanya membahas tauhid. Karena yang kita bahas adalah Dzat yang bukan makhluk, maka tidak ada metode yang pas untuk membahas-Nya, kecuali melalui keimanan atau al-samiyyat (sesuatu yang kita dengar dari wahyu, lalu kita mempercayainya). 
 
Di dalam mengembangkan iman, harus dengan jalan beribadah. Jadi, kita jangan hanya getol mendiskusikan teologi (tauhid) dengan akal dan argumentasi saja. Mengapa?, karena yang kita bicarakan adalah Allah SWT yang tidak mempunyai sifat kemakhlukan, sehingga tidak bisa dipahami dengan akal. Oleh sebab itu, keimanan harus kita suburkan dengan ibadah. Ibadah itu ada dua macam, yaitu Ibadah Mahdhah dan Ibadah Ammah
Mahdhah dalam Bahasa Jawa berarti nyel (murni). Ibadah Mahdhah adalah ibadah yang tidak bisa dirasionalisasikan (ghairu maqul al-mana). Isi dan bentuk Ibadah Mahdhah telah ditentukan Allah SWT dan Rasulullah SAW, sehingga tidak boleh diowahi (diubah-ubah), karena format dan esensinya berasal dari Allah SWT. Misalnya: Shalat. Mengapa di dalam shalat kok harus berdiri, rukuk, sujud, dan sebagainya; kok nggak diganti lari pagi saja? Jadi, shalat itu tidak bisa dipertanyakan dan diubah-ubah. 
 
Ibadah Ammah adalah ibadah yang maknanya untuk pengabdian kepada Allah SWT, tapi cara dan bentuknya bebas, tidak ditentukan Allah SWT dan Rasulullah SAW. Jadi, Ibadah Ammah ini bebas bentuknya, tapi esensinya adalah hubungan manusia dengan Allah SWT. Contoh: membaca al-Quran, Wirid, Zikir, Istighatsah, dan lain-lain. 
 
Ibadah inilah yang bisa mengembangkan iman. Kalau orang shalatnya sudah rajin, dengan sendirinya, keyakinan kepada Allah SWT semakin naik. Orang yang zikirnya sudah bagus, dengan sendirinya, keimanan kepada Allah SWT menjadi lebih tebal. 
 
Yang dimaksud zikir (ingat kepada Allah SWT) bukan mengingat Dzat Allah SWT, karena Dzat Allah SWT tidak bisa dibayangkan. Jadi, ketika berzikir Subhanallah (Maha Suci Allah), yang kita ingat bukanlah Dzat Allah SWT, melainkan tanda-tanda alam dan makhluk yang menunjukkan kesucian Allah SWT. Jika berzikir Laa Haula wa Laa Quwwata illa bi Allah (Tiada daya dan upaya selain dengan pertolongan Allah SWT), yang kita bayangkan adalah kekuatan kita tidak akan ada, kecuali kalau diberi Allah SWT. Di sini kita tidak membayangkan Dzat Allah SWT. Inilah perbedaan zikir kepada Allah SWT dengan iling coro kebatinan atau kejawen (mengingat versi kebatinan atau kejawen).
 
Sering saya kenal tokoh-tokoh kebatinan. Kalau mereka ingin iling (ingat) kepada Pengeran(Tuhan), mereka pergi ke Laut Selatan. Di sana mereka berkumpul lalu berdiam diri. Kira-kira setelah 10 menit berlalu, mereka berkumpul kembali untuk cocokan (saling mencocokkan). Di sinilah letak kesalahan mereka. Ada yang ngomong: “Saya lihat kuda tanpa ada kakinya”; ada yang ngomong: “Saya melihat kereta api yang berjalan ke bawah”. Padahal tidak ada yang bisa mempertanggung-jawabkan semua itu, apakah termasuk ilham, wahyu ataukah halusinasi?. Karena menurut ilmu jiwa, wangsit (pesan gaib) itu kemungkinan berasal dari luar dirinya, lalu masuk ke dalam dirinya; namun kadang-kadang merupakan refleksi perasaan dari dalam dirinya. 
 
Kalau wangsit itu dari luar dirinya, apakah dari Tuhan?, jin? atau setan? Siapa yang bisa membedakan?, tidak ada!. Belum lagi kalau wangsit itu berasal dari dalam dirinya. Manusia itu mempunyai alam bawah sadar. Ketika sedang merenung atau tidur, alam bawah sadarnya naik. Misalnya: Ada anak wis suwe kepingin (sudah lama ingin) pacaran, kok nggak oleh-oleh (tapi tidak kunjung mendapat pacar). Lalu dia tidur dan bermimpi pacaran. Itu bukan pacaran, melainkan halusinasi. Jadi, siapa yang bisa menjamin bahwa wangsit itu sudah beres?. Oleh karena itu, kita jangan ikut-ikutan. Merdukun (pergi ke dukun) dan percaya wangsit dilarang oleh Nabi Muhammad SAW melalui sabda beliau: “Para ahli perbintangan (peramal; astrolog) itu berdusta, walaupun mereka benar”.
 
 
Maksudnya: Orang yang ahli menebak (peramal; dukun) itu bohong, senajan bener (meskipun benar). Mergo umpomo bener, iku ketepaan (sebab seumpama benar, itu hanya kebetulan). Kenapa demikian?, karena dukun tidak bisa membedakan yang mana jalur Allah SWT, jalur setan, jalur jin, jalur nafsu mudal (keluar), dan sebagainya. Apa yang bisa membuat dia bisa membedakan antara ilusi dan halusinasi?, tidak ada!. Oleh karena itu, zikir harus kita beresi, supaya zikir kita benar. Sedangkan yang kita bayangkan ketika berzikir bukanlah Dzat Allah SWT, melainkan kekuasan Allah SWT. 
 
Untuk menuju ke zikir yang sebenarnya, Islam memberi jalur yang disebut mujahadah (olah hati). Mujahadah adalah jalan menuju kepada Allah SWT secara Islami. Misalnya: Membersihkan hati dan pikiran, sehingga tidak ada “selimut” (penghalang) yang menyelimuti kita dari hidayah Allah SWT. Yang demikian ini jalurnya al-Quran dan Hadis. Hati-hati jangan sampai meleset (salah sasaran), karena akibatnya bisa menjadikan musyrik (mempersekutukan Allah SWT) atau menganggap bahwa ada tuhan lain selain Allah SWT. Sedangkan perbuatan syirik adalah dosa yang tidak terampunkan lagi. 
 
Zikir dan ibadah yang benar dengan sendirinya akan menebalkan iman. Oleh karena itu, salah jika mahasiswa diskusi terus tentang teologi, tapi nggak sembahyang (shalat). Hal ini sama dengan orang yang berdiskusi tentang rawon, tapi nggak pernah makan rawon. Yang ada adalah wacana “kerawonan”, bukan ngerasakno (merasakan) rawon. Atau sama dengan diskusi tentang hubungan suami-istri, tapi nggak nikah, yo tetep nayeng (tetap karatan). Jadi, Allah SWT diusahakan masuk ke dalam rasa, tidak cukup hanya dalam rasio. Semoga iman kita bertambah, karena kita sudah beribadah, meskipun tanpa harus berdiskusi. Dengan beribadah, berarti sudah ada pembersihan hati, pikiran dan nafsu kita.
 
Ada tiga istilah yang saling berhubungan. PertamaKitabiyyatullah atau kodrat Allah SWT yang sudah tidak bisa diubah-ubah lagi. KeduaMasyiatullah atau kehendak Allah SWT yang bisa ke kiri dan ke kanan. Ketiga, janji Allah SWT yang tidak akan pernah diingkari oleh-Nya. Di situlah tempat ikhtiar manusia. Ikhtiar adalah usaha atau rekayasa. Namun ikhtiar tidak boleh menabrak Kitabiyyatullah maupun Masyiatullah. Ikhtiar berada pada sela-sela Masyiatullah. Oleh karena itu, orang harus belajar dan bekerja. 
 
Yang pertama kali dicari setelah tauhid dan ibadah adalah kebutuhan hidup. Carilah kebutuhan makan, minum, sandang, pangan, dan sebagainya. Itu perintah Allah SWT dalam Surat al-Furqan [25]: 47, Dialah yang menjadikan untukmu malam (sebagai) pakaian, dan tidur untuk istirahat, dan dia menjadikan siang untuk bangun berusaha (Q.S. al-Furqan [25]: 47).
 
Maksudnya: Allah SWT menjadikan siang untuk digunakan mencari kebutuhan hidup. Jadi, nganggur itu, selain nggak punya uang, juga mendatangkan dosa. Ini penting untuk diketahui para pengangguran. Selama manusia masih mampu bekerja, maka dia harus bekerja. Menganggur itu salah, sekalipun tidak haram. 
 
Sedangkan malam hari disediakan oleh Allah SWT untuk digunakan beristirahat dan tidur. Yang “ngomong” seperti itu al-Quran. Lalu ada yang bertanya: “Bagaimana dengan orang yang bertugas jaga malam, yakni bekerja di malam hari dan istirahat di siang hari?”. Yang demikian itu pengecualian, karena tidak mungkin seluruh warga kampung berjaga malam. Kalau sampai seluruh warga kampung jaga malam, lalu tidur pada siang harinya, berarti mereka semua stres. Jadi, normalnya, manusia bekerja di siang hari dan beristirahat di malam hari. 
 
Semua rezeki dan fadhal (karunia) Allah SWT diberikan kepada manusia secara gratis alias tanpa bayar. Ambillah semaumu!. Mengapa benda ada harganya?, karena benda itu sudah terlanjur diperoleh orang lain, sehingga tidak boleh diminta begitu saja, kalau tidak disertai harga tertentu. Pada mulanya, benda itu gratis dari Allah SWT untuk manusia. Misalnya: Kita boleh minum air sumber secara gratis. Akan tetapi, kalau kita ingin minum air yang dikemas dalam botol, maka harus membayar untuk mendapatkannya. Jadi, mengapa di dunia ini ada harga? karena rahmat dan fadhal (karunia) Allah SWT sudah terlebih dahulu diambil orang lain. Oleh sebab itu, pergeseran antar hak milik juga diatur dalam syariat Islam. 
 
Di dalam Hadis ada keterangan bahwa selagi manusia membutuhkan dunia, maka dia harus bergerak untuk mencarinya dan tidak boleh menunggu; meskipun adakalanya orang yang menunggu saja tanpa mencari, bisa memperoleh kebutuhan hidupnya. 
 
Ada juga makhluk Allah SWT yang memang nggak disuruh mencari kebutuhan hidup, cukup menunggu saja. Contoh: Kolomonggo (laba-laba). Laba-laba itu tidak perlu mencari makan, melainkan disuruh menunggu datangnya makanan. Oleh karena itu, laba-laba dikasih jaring, lalu ada lalat atau serangga yang terjebak di situ, sehingga menjadi makanan laba-laba. Oleh karena itu, tidak ada laba-laba yang kaliren (kelaparan). Jadi, kalau ada manusia tidak mau mencari, hanya mau menunggu datangnya rezeki, berarti dia itu manusia laba-laba; karena pada dasarnya, manusia itu diperintahkan untuk mencari kebutuhan hidup. 
 
Dalam mencari kebutuhan hidup, hasil yang diperoleh tergantung pada peluang yang ada dan tergantung pada Masyiatullah (kehendak Allah SWT). Peluang yang dimaksud meliputi kerajinan, kepandaian, kapasitas, kemampuan untuk bersaing atau yang biasa disebut potensi SDM. Kalau potensi SDM-nya besar, maka hasilnya juga besar; begitu juga sebaliknya. Misalnya: Kalau ada orang memancing ikan dalam satu hari, lalu dia memperoleh 10 ekor ikan, maka itu sudah termasuk “super mancing”, karena alatnya memang kecil. Tentu dia tidak bisa berharap memperoleh hasil yang sama dengan hasil tangkapan nelayan yang membawa kapal besar untuk menyedot ikan di lautan. Hal itu tidak mungkin terjadi mengingat perbedaan kapasitas yang ada. Meskipun demikian, semua ini tidak bisa menabrak Masyiatullah. Misalnya: Kalau kapal itu terkena badai, lalu tenggelam, maka nelayannya tidak jadi makan ikan, justru akan dimakan oleh ikan. 
 
Perhatikan ini betul-betul!. Yang terpenting adalah besarkan kemampuanmu untuk mencari rezeki dan kamu harus sadar bahwa ada kehendak Allah SWT yang membatasi kamu. Sekalipun kamu terbatas, kalau kualitas iman dan ibadahnya bagus, maka kamu tetap bisa longgar dengan rezeki yang sedikit, dan bisa merasa nikmat dengan rezeki yang banyak. Itu kalau sudah ada jaminan iman dan ibadah yang bagus. Di sinilah letak kasih sayang Allah SWT dan keadilan-Nya. Bagi yang mendapat hasil banyak, ya bersyukur mengucap Alhamdulillah; sedangkan bagi yang mendapat hasil sedikit, ya dicukup-cukupkan sambil berdoa mudah-mudahan besok mendapat hasil yang banyak. 
 
Seperti halnya orang yang sedang menahan lapar karena puasa, seakan-akan kalau ada makanan –sekalipun empat tumpeng– akan dihabiskan semua, saking luwene (karena sangat lapar). Tapi ketika sudah buka puasa, makan dua kotak makanan saja sudah glegeen(kekenyangan). Kalau sampai ada orang yang menghabiskan tiga kotak makanan, berarti dia itu memang nggragas (rakus). Ini menunjukkan tidak ada kesamaan antara kenyataan ketika orang berbuka puasa, dengan bayangan ketika dia masih lapar yang merasa semua makanan mau dihabiskan. Jadi, ada perbedaan antara kemauan dan kebutuhan. Di sinilah letak keadilan Allah SWT. 
 
Kenapa ada orang kaya?, orang cukupan?, orang miskin?. Orang yang miskin diberi hak Allah SWT untuk menerima zakat; sedangkan orang kaya diwajibkan mengeluarkan zakat. Kalau orang kaya tidak mau mengeluarkan zakat, maka yang kaya akan semakin kaya dan yang miskin akan semakin miskin. Meskipun demikian, tidak tertutup kemungkinan bahwa yang miskin maupun yang cukupan bisa hidup bahagia. 
 
Contoh: Saya dulu pernah sekolah. Saat itu jarang ada sepeda. Bahkan dalam satu kecamatan pun, belum tentu ada satu orang pun yang mempunyai sepeda, apalagi berstatus mahasiswa. Ketika itu, karena saya anaknya orang miskin, maka saya dibelikan sepeda oleh kakak ipar. Nikmatnya bersepeda itu bagi saya sungguh Masya Allah Laa Haula wa Laa Quwwata Illa Billah. Sekarang saya sudah tua, kalau saya mancal sepeda, justru akan kepancal dewe(dipancal oleh sepeda). Oleh karena itu, saya mesti naik mobil yang bagus-bagus. Akan tetapi, kenikmatan yang saya rasakan ketika naik sepeda ontel (pancal) dulu dengan naik mobil sekarang ini, jauh lebih nikmat naik sepeda ontel. Jadi, sebenarnya di mana tempat kesenangan itu berada?. Jawabannya, di dalam hati. 
 
Dulu saya tidak pernah makan makanan enak, sehingga kalau diundang kondangan (walimah; resepsi), rasanya seperti mendapat Lailatul Qadar. Kalau ada tetangga yang selametan (selamatan; walimah), seolah-olah belum diundang saja, sudah merasa kenyang, karena saking senenge (begitu senangnya). Sekarang ini, saya selalu disuguhi makanan prasmanan dan tidak pernah disuguhi makanan yang tidak enak. 
 
Tahadduts bi al-nimah, kalau saya diundang di sana-sana, saya selalu dicarikan makanan yang paling enak oleh tuan rumah. Akan tetapi, saya merasa tidak pernah makan seperti dulu. Karena setiap kali kenyang maupun lapar, saya mengalami maag. Sehingga dengan demikian, Allah SWT membagi keadilan tidak hanya dalam bentuk jumlah rezeki, tapi juga menyampaikan keadilan melalui rasa terhadap rezeki itu. Ini yang tidak dimiliki orang-orang kapitalis maupun ekonom-ekonom yang hanya menghitung benda, tapi tidak menghitung sikap hati manusia terhadap benda itu. 
 
Misalnya: Saya pernah bertanya kepada seorang teman, “kalau kamu keluar untuk bekerja dapat uang berapa?”. Dia menjawab: “Sampai jam 11.00 WIB, kadang memperoleh uang Rp. 7.500”. Kemudian dia saya beri uang Rp. 50.000, lalu dia tidak bisa tidur, mergo akehe duwek (karena begitu banyaknya uang). Akan tetapi, seandainya uang Rp. 50.000 itu diberikan kepada orang yang cukup, maka uang itu tidak akan ada apa-apanya. Jadi, di sini ada rasa dan ada volume. Oleh karena itu, diperlukan barakah dari Allah SWT. 
 
Adapun pergeseran antar hak milik itu harus dengan ridha. Oleh karenanya, yang pertama kali disyariatkan oleh Islam adalah tata cara jual beli dan perpindahan hak milik dari satu orang kepada orang lain. Allah SWT berfirman dalam Surat al-Baqarah [2]: 275, Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba (Q.S. al-Baqarah [2]: 275).
 
Kalau kita ingin mencari rezeki, maka berdagang atau berjual-belilah. Istilah yang paling bagus adalah jual-beli. Jual beli di sini tidak selalu dengan uang, yang penting ada tukar-menukar. Oleh karena itu, barter juga termasuk jual beli. Akan tetapi Allah SWT mengharamkan riba. 
 
Apakah riba itu?, riba adalah pengambilan harta seseorang oleh orang lain, tanpa ada kompensasi manfaat di situ. Misalnya: Saya meminjam uang untuk makan sebanyak Rp. 10.000, lalu uang habis. maka nanti saya harus mengembalikan uang itu sebanyak Rp. 12.000. Lalu uang Rp. 2000 itu uang apa?, kan tidak ada posisi kompensasinya dan tidak ada posisi tukar-menukar manfaatnya. Hukumnya riba adalah haram. Kita harus hati-hati, jangan sampai makan riba yang haram seperti itu. 
 
Bagaimana dengan hukum bunga bank? Ada pendapat yang banyak. Ada yang bilang boleh, tidak boleh, dan ragu-ragu. Kenapa demikian?, Ulama yang membolehkan bunga bank berargumen bahwa orang yang meminjam uang sejumlah Rp. 10.000 untuk digunakan modal kerja. Siapa tahu dia nanti memperoleh keuntungan sebanyak Rp. 5.000, sehingga yang Rp. 2000 diberikan kepada orang yang meminjaminya; sedangkan yang Rp. 3.000 kembali kepada dirinya. Ini salah satu alasan ulama yang membolehkan bunga bank. Jadi, menurut mereka, di sini kedua pihak sama-sama mendapatkan manfaat. 
 
Ada ulama yang bilang bahwa bunga bank itu hukumnya tidak boleh (haram). Alasannya, siapa yang bisa menjamin seseorang pasti akan memperoleh untung dan tidak rugi?. Bagaimana kalau dia meminjam uang sejumlah Rp. 10.000 untuk dibuat berdagang, lalu dia bangkrut. Kemudian dia diharuskan mengembalikan uang pinjaman itu sebanyak Rp. 12.000, maka yang Rp. 2.000 itu uang apa?. Ini salah satu alasan ulama yang tidak memperbolehkan bunga bank. 
 
Ada pula ulama yang menilai bunga bank itu syubhat (abu-abu antara halal dan haram). Mereka beralasan, seseorang seharusnya menghitung, kalau dia sulit untuk memperoleh keuntungan lebih dari Rp. 2000, maka untuk apa dia harus berhutang. 
 
Ada ancaman Allah SWT bahwa orang yang rezekinya dari riba sesuai pengertian di atas; maka jangan harap dia akan menjadi husnul khatimah. Saya dengar bahwa di Pasar Besar Malang, ada orang yang memberi pinjaman uang kepada para melijo dengan bunga harian, bukan bulanan. Jadi, kalau orang yang pinjam itu kemudian jatuh sakit selama dua bulan, maka berapa bunga uang yang harus dia kembalikan?. Inilah contoh orang bangsat atau yang menurut al-Quran disebut sebagai orang yang mau makan bangkai saudaranya sendiri. Kita semua jangan sampai terlibat uang yang seperti ini!.
 
Allah SWT juga berfirman dalam Surat al-Baqarah [2]: 282, Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu berhutang tidak secara tunai, untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. Dan hendaklah seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar. Dan janganlah penulis enggan menuliskannya sebagaimana Allah mengajarkannya; maka hendaklah dia menulis, dan hendaklah orang yang berhutang itu mendiktekan (apa yang akan ditulis itu), dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya, dan janganlah ia mengurangi sedikitpun catatan hutangnya. Jika yang berhutang itu orang yang lemah akalnya atau lemah (keadaannya) atau dia sendiri tidak mampu mendiktekan, maka hendaklah walinya mendiktekan dengan jujur. Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang laki-laki (di antaramu). Jika tak ada dua orang lelaki, maka (boleh) seorang laki-laki dan dua orang perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridhai, supaya jika seorang lupa, maka yang seorang lagi mengingatkannya. Janganlah saksi-saksi itu enggan (memberi keterangan) apabila mereka dipanggil; dan janganlah kamu jemu menulis hutang itu, baik kecil maupun besar sampai batas waktu membayarnya. Yang demikian itu, lebih adil di sisi Allah dan lebih menguatkan persaksian dan lebih dekat kepada tidak (menimbulkan) keraguanmu. (Tulislah hutang-piutang itu), kecuali jika berupa perdagangan tunai yang kamu jalankan di antara kamu, maka tidak ada dosa bagi kamu, (jika) kamu tidak menulisnya. Dan persaksikanlah apabila kamu berjual beli; dan janganlah penulis dan saksi saling sulit menyulitkan. Jika kamu lakukan (yang demikian), maka sesungguhnya hal itu adalah suatu kefasikan pada dirimu. Dan bertakwalah kepada Allah; Allah mengajarmu; dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu (Q.S. al-Taubah [2]: 282). 
 
Ayat di atas menyatakan bahwa kalau berjual beli, hendaknya ada saksi. Kwitansi boleh dijadikan saksi, begitu juga orang yang dijadikan saksi; karena dalam proses jual beli terdapat banyak penipuan dan manipulasi. Jadi, sejak dulu al-Quran sudah menghitung bahwa wong iki mesti mbelinge (manusia itu pasti berbuat nakal), sebab Dzat yang membuat wong sing mbeling iku sama dengan Dzat yang berfirman dalam al-Quran. 
 
Kecuali jika jual beli itu cash and carry atau cul-culan (tunai), maka boleh tanpa disertai saksi. Akan tetapi, kalau berupa perjanjian, kontrak, hutang, dan sebagainya; al-Quran memerintahkan agar semua itu dicatat sebagai persaksian atau bukti tertulis. Jadi, manajemen perdagangan itu Qurani dan Islami. Anehnya, sing ngelekoni iki wong liyane Islam (yang menjalankan manajemen perdagangan justru orang non muslim), sedangkan orang muslim sendiri tidak mau menjalankannya, bahkan nggak ngeregani (menghargai) administrasi, termasuk NU. Ketika NU mempunyai aset apapun, pasti tidak ada catatannya, sehingga mudah hilang diambil orang lain. Karena mestinya harus ada akte, sertifikat, dan sebagainya. Namun, kadang-kadang orang tidak menyambungkan perintah al-Quran dangan administrasi, sehingga seakan-akan administrasi itu milik orang lain, sedangkan al-Quran itu milik orang Islam. Kekalahan orang Islam itu di sini. Yaitu al-Quran dipedot-pedot dewe (dipotong-potong sendiri). Contoh: seakan-akan mempelajari ilmu manajemen bukan perintah agama Islam atau al-Quran. 
 
Sekalipun sifatnya cash and carry (tunai), tentu lebih baik dicatat, baik berupa kwitansi atau nota. Misalnya, saya pernah membeli arloji di New York, karena di arloji itu ada lambang bintang sembilan, iki (ini) arloji NU. Di sana saya diberi nota pembelian.
 
Begitu ketatnya al-Quran dalam mengatur pergeseran antara hak dari satu orang kepada orang lain. Karena di sinilah terdapat dosa-dosa dan pertikaian-pertikaian. Jadi, ada ayat yang menyuruh kita agar jangan sampai terlibat di dunia ini, sehingga menjadi hamba dunia; tetapi ada pula ayat al-Quran yang mengatur dunia itu sendiri. [Dr. Rosidin, M.Pd.I]