Puasa Ramadhan untuk Training Keistiqomahan dan Ihsan
agama,artikel
Puasa Ramadhan untuk Training Keistiqomahan dan Ihsan
Penulis : Muthmainnah (Mahasiswa Prodi PAI, Penerima Beasiswa STAIMA)
Momentum Ramadhan yang penuh dengan berbagai amalan dari pagi hingga malam hari, mau tidak mau, suka tidak suka, akan membuat seorang berlatih untuk istiqomah dalam hari-hari selanjutnya. Kita semua benar-benar menjadi orang yang sibuk dalam bulan Ramadhan. Bangun di awal hari untuk sholat malam dan sahur, kemudian siang hari yang dihiasi tilawah dan dakwah, belum lagi malam hari yang bercahayakan tarawih dan tadarus. Semua kita lakukan dalam tempo sebulan penuh terus menerus. Sebuah kebiasaan tahunan yang nyaris tidak kita percaya bahwa kita bisa menjalaninya. Semangat beribadah kita benar-benar dipacu saat memulai Ramadhan. Bahkan Rasulullah SAW memberikan panduan agar melipatgandakan semangat saat akan melepas bulan mulia tersebut.
Dalam percakapan sehari-hari kita sering mendengar kata “istiqomah.” Kata ini sering diucapkan, terutama menyangkut agama. Sebenarnya apa arti dari istiqomah, terutama menurut Islam dan contohnya dalam kehidupan sehari-hari?
Istiqomah merupakan kata kerja dari lafad istiqama yang dalam bahasa arab bermakna “tegak lurus”. Dalam KBBI kata istiqomah didefinisikan dengan sikap teguh pendirian dan selalu konsekuen. Dari sini bisa dipahami bahwa istiqomah adalah sikap teguh pendirian dan siap menerima resiko apa pun yang diakibatkan dari sikap tadi. Dalam artian siap menerima konsekuensi dari pilihan sikap walaupun itu kadang berat dan tidak menyenangkan.
Info Pendaftaran PMB STAI Ma'had Aly Al-Hikam Malang
Selain diartikan sebagaimana di atas istiqamah juga diartikan dengan “konsistensi” atau “keajekan”. Konsisten sendiri bermakna tetap (tidak berubah-ubah), taat asa, ajek, selaras, sesuai. Dalam Mu’jam al-Mufahrasy Li Al-Fadzil Qur’an, kata istiqomah dalam Al-Qur’an itu sebanyak 10 kata, terdiri dari 9 ayat, yang terdapat pada 8 surat.
Salah satu ayat tersebut adalah
أمرت فاستقم كما
“ Maka istiqomahlah pada jalan yang benar, sebagaimana diperintahkan kepadamu!” (Q.S Hud: 112)
Pada akhirnya, istiqamah adalah perjalanan tanpa awal dan tanpa akhir. Sebab istiqamah adalah anugerah dari Yang Maha awal dan Maha akhir. Hanya saja Istiqamah bisa dilambangkan sebagai sebuah proses berkesinambungan dari seorang Salik untuk terus berada di jalan lurus. Terminal pemberangkatannya adalah kehendak/tekad yang kuat dan ketetapan hati (tahap al-‘azm). Sedang amal lahir dan amal batin adalah kendaraannya.
Dari Aisyah ra, ia berkata : adalah Nabi SAW ketika masuk sepuluh hari yang terakhir (Romadhon), menghidupkan malam, membangunkan istrinya, dan mengikat sarungnya (ungkapan kesungguhan dan kesiapan dalam beribadah) (HR Bukhori dan Muslim)
Bila training keistiqomahan ini kita resapi dengan baik, maka kita akan terbiasa beramal secara terus menerus dan berkelanjutan dalam bulan yang lain. Segala halangan dan rintangan akan teratasi dengan sempurna karena semangat istiqomah yang telah tertempa dalam dada kita.
Pada bulan-bulan berikutnya, saat lelah melanda, ada baiknya kita mengingat kembali semangat kita yang menyala-nyala dalam bulan Ramadhan. Untuk kemudian bangkit dan melanjutkan amal dengan penuh semangat !
Training lainnya di bulan Ramadhan yang bisa kita terapkan adalah Training Ihsan
Syariat kita mengajarkan untuk optimal atau ihsan dalam setiap ibadah. Tak terkecuali dengan ibadah puasa Ramadhan. Setiap kita diminta untuk meniti hari-hari puasa dengan penuh ketelitian. Menjaganya dari segala onak yang justru akan memporakporandakan pahala puasa kita. Rasulullah SAW telah mengingatkan : ” Betapa banyak orang yang berpuasa, tapi tidak mendapatkan dari puasanya kecuali hanya rasa lapar. Dan betapa banyak orang yang sholat malam, tapi tidak mendapatkan dari sholatnya kecuali hanya begadang ” (HR Ibnu Majah)
Ini artinya, hari-hari puasa kita haruslah penuh kehati-hatian. Menjaga lisan, pandangan dan anggota badan lainnya dari kemaksiatan. Sungguh berat, tapi tiga puluh hari latihan seharusnya akan membuat kita melangkah lebih ringan dalam hal ihsan pada bulan-bulan selanjutnya. Bahkan semestinya, perilaku ihsan ini memang menjadi branding kaum muslimin dalam setiap amalnya.
Disini kita akan mengulas sedikit tentang apa itu Ihsan.
Dalam sebuah hadits yang cukup panjang di mana Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam ditanya perihal islam, iman, dan ihsan, beliau menuturkan tentang ihsan sebagai berikut
أ ن تعبد الله كأنك تراه فان لم تكن تراه يراك
Artinya: “Ihsan adalah engkau menyembah Allah seakan engkau melihat-Nya, maka bila engkau tak melihat-Nya maka sesungguhnya Allah melihatmu.” (HR Muslim) Imam Nawawi dalam menjelaskan definisi ihsan tersebut menuturkan bahwa bila seseorang di dalam ibadahnya mampu melihat secara nyata Tuhannya maka sebisa mungkin ia tidak akan meninggalkan sedikit pun sikap khusyuk dan khudlu’ (merendah diri) di dalam ibadahnya tersebut (Imam Nawawi, al-Minhâj Syarh Shahîh Muslim ibnil Hajjâj). Lebih jauh dari itu berperilaku ihsan bukan saja ketika seseorang sedang melakukan aktivitas peribadatan kepada Allah. Kalimat an ta’buda (engkau menyembah) pada hadits di atas bisa dipahami secara luas dari makna kata ta’buda. Kata ini berasal dari kata ‘abdun yang berarti budak atau hamba sahaya. Dari arti dasar kata ini maka kalimat an ta’buda Allah pada hadits di atas bisa diartikan sebagai engkau menjadi budak atau hamba sahayanya Allah atau engkau menghambakan diri kepada Allah. Bila demikian adanya maka ihsan dalam hadits di atas dapat didefinisikan sebagai “engkau menjadi hamba sahayanya Allah seakan-akan engkau melihat-Nya, dan bila engkau tak melihat-Nya maka sesungguhnya Ia selalu melihatmu.”
Satu pertanyaan mendasar, di waktu kapan dan di tempat mana kita menjadi hambanya Allah? Apakah ketika sedang shalat, membaca Al-Qur’an, berpuasa atau ketika sedang melakukan aktivitas ibadah mahdlah lainnya saja? Apakah seseorang menjadi hambanya Allah ketika ia sedang berada di masjid dan mushalla saja? Bila seseorang menjadi hamba Allah ketika melakukan aktifitas ibadah tertentu saja, maka menjadi hambanya siapakah ketika ia sedang tidak beribadah? Bila seseorang menjadi hambanya Allah ketika ia sedang berada di masjid dan mushalla saja, maka menjadi hambanya siapa ketika ia sedang berada di pasar, kantor, jalanan dan tempat lainnya? Tidak demikian tentunya. Kapanpun dan di manapun, sedang diam atau bergerak, sedang beraktifitas ibadah atau lainnya seseorang selalu menjadi hambanya Allah. Tak sedetikpun waktu berlalu kecuali setiap orang menyandang status sebagai abdullah, hamba Allah.
Prof Dr. Kasuwi Saiban, M.Ag : STAI Ma'had Aly Al-Hikam Malang Low Cost High Quality
Akhirnya, sungguh masih banyak hikmah lain yang terserak sedemikian rupa dalam titian tiga puluh hari yang mulia ini. Tidak ada pilihan lain bagi kita kecuali mengais hikmah-hikmah tersebut dari hari ke hari Ramadhan kita, untuk kemudian menjadikannya sebagai simpanan dalam menyambut bulan-bulan berikutnya. Mari memulai dari keinginan tulus dalam hati untuk mensukseskan Ramadhan tahun ini. Lalu diikuti dengan kesungguhan dalam mengisinya bahkan hingga saat hilal Syawal menjelang. Agar kegembiraan yang dijanjikan bisa kita dapatkan.
Rasulullah SAW bersabda : Bagi orang yang berpuasa akan mendapatkan dua kegembiraan yaitu kegembiraa ketika dia berbuka dan kegembiraan ketika berjumpa dengan Rabbnya. (HR Bukhori)
)* Artikel ditulis oleh Muthmainah (Mahasiswa jurusan PAI, penerima beasiswa STAI Mahad Aly Al-Hikam Malang)