Warisan Pemikiran KH. Hasyim Muzadi dan Arah Baru STAIMA Melalui Program Studi Psikologi Islam

STAIMA - Wajah sejuk Islam rahmatan lil ‘alamin kembali digelorakan
dalam sebuah diskusi lintas kampus yang menghadirkan Dr. Laily Abida, M.Psi.,
Psikolog., Wakil I STAI Ma’had Aly Al-Hikam (STAIMA) Malang yang juga putri
kelima almaghfurlah KH. Hasyim Muzadi.(19/7).
Forum dialog dengan mahasiswa Universitas Brawijaya (UB) dan
mahasiswa dari Adelaide University, Australia, itu menyoroti akselerasi perkembangan
psikologi Islam dan pesantren di Indonesia sebagai jawaban atas tantangan
narasi global tentang Islam.
Selama beberapa dekade terakhir, dunia Islam kerap mengalami ujian citra akibat framing sempit yang mengaitkannya dengan ekstremisme, kekerasan, dan pemahaman tertutup yang dianggap membatasi potensi kemanusiaan.
“Justru pesantren sejak awal adalah ruang pembinaan nalar, akhlak,
dan kesehatan psikologis model pendidikan integratif yang memuliakan manusia,”
ditekankan Dr. Laily dalam paparannya yang diapresiasi peserta.
Dalam diskusi tersebut, digambarkan bahwa pesantren tidak hanya
pusat transmisi ilmu keagamaan, tetapi juga laboratorium pembentukan resilience
(ketangguhan), empati sosial, disiplin spiritual, dan kecerdasan emosional.
Semua ini selaras dengan gagasan besar KH. Hasyim Muzadi tentang Islam yang
inklusif, ramah, dialogis, serta aktif dalam transformasi sosial.
Model pendidikan berasrama dengan interaksi intensif kiai, ustadz, dan santri menciptakan
jejaring dukungan psikologis alamiah yang kini semakin diakui relevansinya oleh
studi-studi kontemporer mengenai kesehatan mental komunitas.
Dr. Laily menegaskan, penguatan paradigma psikologi Islam sangat
strategis untuk mengoreksi stereotip global. Pendekatan ini tidak dimaksudkan
menggantikan kerangka psikologi modern, tetapi melengkapinya melalui nilai
spiritual, makna ibadah, konsep keseimbangan hati–akal, serta orientasi tazkiyatun
nafs (penyucian jiwa).
“Ketika pemikiran Islam ditampilkan dalam wujud yang konstruktif membangun
karakter unggul dan kesehatan mental maka narasi ekstrem akan kehilangan
ruang,” ujarnya dalam sesi tanya jawab.
Kehadiran mahasiswa Adelaide University memberi perspektif
perbandingan tentang bagaimana komunitas Muslim minoritas di Barat mencari
rujukan metodologis yang moderat dan adaptif. Diskusi berlanjut pada peluang
riset kolaboratif: well-being santri, intervensi konseling berbasis nilai
tauhid, serta model pencegahan stres akademik melalui rutinitas spiritual
pesantren.
Forum ini juga menjadi ruang refleksi terhadap konsistensi almarhum
KH. Hasyim Muzadi dalam mengampanyekan Islam rahmatan lil ‘alamin Islam yang
menumbuhkan bukan menakutkan, merangkul bukan mengucilkan. Dr. Laily menilai,
menerjemahkan warisan pemikiran tersebut ke dalam rancangan kurikulum psikologi
Islam berbasis pesantren adalah langkah strategis untuk memberi impact nyata
dalam penguatan SDM bangsa.
“Untuk menjawab berbagai
kebutuhan keilmuan, STAIMA akan mengembangkan Program Studi Psikologi Islam sebagai
jembatan antara keilmuan modern, kekayaan tradisi pesantren, dan kebutuhan
kesehatan mental masyarakat.” tandasnya
Langkah ini diharapkan menjadi katalis lahirnya praktisi dan
peneliti psikologi Islam yang tidak hanya kompeten secara akademik, tetapi juga
berakar pada etika spiritual dan keindonesiaan. Dengan demikian, pesantren melalui
penguatan disiplin psikologi Islam kian tegak sebagai representasi autentik
Islam rahmatan lil ‘alamin yang menumbuhkan keadaban, keunggulan mental, dan
peradaban.