2003@staima-alhikam.ac.id +6281259438226

Warisan Pemikiran KH. Hasyim Muzadi dan Arah Baru STAIMA Melalui Program Studi Psikologi Islam

  • M. Miftahul Aziz, M.Pd.
  • Disukai 1
  • Dibaca 124 Kali
Dr. Laily Abida, M.Psi., Psikolog. dalam Forum dialog dengan mahasiswa Universitas Brawijaya (UB) dan mahasiswa dari Adelaide University, Australia.

STAIMA - Wajah sejuk Islam rahmatan lil ‘alamin kembali digelorakan dalam sebuah diskusi lintas kampus yang menghadirkan Dr. Laily Abida, M.Psi., Psikolog., Wakil I STAI Ma’had Aly Al-Hikam (STAIMA) Malang yang juga putri kelima almaghfurlah KH. Hasyim Muzadi.(19/7).

Forum dialog dengan mahasiswa Universitas Brawijaya (UB) dan mahasiswa dari Adelaide University, Australia, itu menyoroti akselerasi perkembangan psikologi Islam dan pesantren di Indonesia sebagai jawaban atas tantangan narasi global tentang Islam.


Selama beberapa dekade terakhir, dunia Islam kerap mengalami ujian citra akibat framing sempit yang mengaitkannya dengan ekstremisme, kekerasan, dan pemahaman tertutup yang dianggap membatasi potensi kemanusiaan.

“Justru pesantren sejak awal adalah ruang pembinaan nalar, akhlak, dan kesehatan psikologis model pendidikan integratif yang memuliakan manusia,” ditekankan Dr. Laily dalam paparannya yang diapresiasi peserta.

Dalam diskusi tersebut, digambarkan bahwa pesantren tidak hanya pusat transmisi ilmu keagamaan, tetapi juga laboratorium pembentukan resilience (ketangguhan), empati sosial, disiplin spiritual, dan kecerdasan emosional. Semua ini selaras dengan gagasan besar KH. Hasyim Muzadi tentang Islam yang inklusif, ramah, dialogis, serta aktif dalam transformasi sosial.
Model pendidikan berasrama dengan interaksi intensif kiai, ustadz, dan santri menciptakan jejaring dukungan psikologis alamiah yang kini semakin diakui relevansinya oleh studi-studi kontemporer mengenai kesehatan mental komunitas.

Dr. Laily menegaskan, penguatan paradigma psikologi Islam sangat strategis untuk mengoreksi stereotip global. Pendekatan ini tidak dimaksudkan menggantikan kerangka psikologi modern, tetapi melengkapinya melalui nilai spiritual, makna ibadah, konsep keseimbangan hati–akal, serta orientasi tazkiyatun nafs (penyucian jiwa).

“Ketika pemikiran Islam ditampilkan dalam wujud yang konstruktif membangun karakter unggul dan kesehatan mental maka narasi ekstrem akan kehilangan ruang,” ujarnya dalam sesi tanya jawab.

Kehadiran mahasiswa Adelaide University memberi perspektif perbandingan tentang bagaimana komunitas Muslim minoritas di Barat mencari rujukan metodologis yang moderat dan adaptif. Diskusi berlanjut pada peluang riset kolaboratif: well-being santri, intervensi konseling berbasis nilai tauhid, serta model pencegahan stres akademik melalui rutinitas spiritual pesantren.

Forum ini juga menjadi ruang refleksi terhadap konsistensi almarhum KH. Hasyim Muzadi dalam mengampanyekan Islam rahmatan lil ‘alamin Islam yang menumbuhkan bukan menakutkan, merangkul bukan mengucilkan. Dr. Laily menilai, menerjemahkan warisan pemikiran tersebut ke dalam rancangan kurikulum psikologi Islam berbasis pesantren adalah langkah strategis untuk memberi impact nyata dalam penguatan SDM bangsa.

“Untuk menjawab berbagai kebutuhan keilmuan, STAIMA akan mengembangkan Program Studi Psikologi Islam sebagai jembatan antara keilmuan modern, kekayaan tradisi pesantren, dan kebutuhan kesehatan mental masyarakat.” tandasnya

Langkah ini diharapkan menjadi katalis lahirnya praktisi dan peneliti psikologi Islam yang tidak hanya kompeten secara akademik, tetapi juga berakar pada etika spiritual dan keindonesiaan. Dengan demikian, pesantren melalui penguatan disiplin psikologi Islam kian tegak sebagai representasi autentik Islam rahmatan lil ‘alamin yang menumbuhkan keadaban, keunggulan mental, dan peradaban.